Seiring berkembangnya kantor kereta api Belanda, maka dibangunlah beberapa gedung pendukung, yakni gedung B, D, dan E pada tahun 1916–1918.
Untuk gedung B masih dibangun oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag. Sementara untuk gedung D dan E dipegang oleh Thomas Karsten. Ia menjadi arsitek termuda dan terakhir yang merancang pembangunan Gedung Lawang Sewu.
Jika dicermati, bangunan Lawang Sewu menggunakan batu bata keramik berwarna oranye yang melambangkan sebuah kekayaan, kemakmuran, dan juga menunjukkan kasta tertinggi. Zaman dahulu, batu bata ini tergolong langka dan harga per-batanya pun sangat mahal.
“Zaman dulu satu batu bata ini ditaksir mencapai 300 ribu harganya. Dan yang unik, cetakannya ada yang melengkung,” ujar Aris.
Aris menjelaskan salah satu alasan bangunan itu memiliki banyak pintu yang tidak sekedar untuk membuat sirkulasi udaranya semakin bagus. Namun, juga berkaitan dengan kasta, mereka (orang Belanda) sangat menjaga image.
“Jadi kalau bangun ya memang nggak tanggung-tanggung,” tandasnya
Setelah mengalami pemugaran dan renovasi, kini Lawang Sewu difungsikan sebagai museum yang menyajikan ragam koleksi yang berhubungan dengan kereta api. Mulai dari seragam masinis, alat komunikasi (telepon kayu, telegraf), alat hitung friden, lemari karcis edmonson, karcis kereta kuno, mesin cetak tanggal untuk karcis kereta, dan lainnya.
Pertempuran Lima Hari
Seusai masa kolonial Belanda, Lawang Sewu berpindah tangan menjadi markas tentara Jepang sekaligus kantor transportasi Jepang bernama Riyuku Sokyoku pada tahun 1942.
Singkat cerita, di tahun 1945 yang merupakan tahun kemerdekaan Indonesia, terjadilah pertempuran yang melibatkan AMKA dengan prajurit Jepang. Pertempuran ini berlangsung selama lima hari tiada henti pada 15-19 Oktober.
Salah satu penyebabnya adalah tewasnya dr. Kariadi yang merupakan dokter paling andal kala itu.
Prajurit Jepang berada di dalam kawasan Lawang Sewu, sementara AMKA berada di Wilhelminaplein tepat seberang Lawang Sewu. Wilhelminaplein inilah yang dikenal dengan Kawasan Taman Tugu Muda.
Dari segi jumlah dan senjata pemuda AMKA dinilai memang sudah kalah. Prajurit Jepang ada sekitar 500 ribu orang dengan senjata bayonetnya, sementara AMKA hanya berjumlah 2 ribu lebih pemuda dengan senjata bambu runcing. Namun dengan semangat yang menggelora dan pantang menyerah, pemuda AMKA tetap berusaha melawan, walau pada akhirnya harus gugur di medan perang.
“Kawasan Wilhelminaplein ini dulunya dijadikan kuburan massal bagi pemuda AMKA yang meninggal. Namun, kemudian jasad-jasadnya dipindahkan ke makam yang lebih layak, yakni Makam Giri Tunggal, makam pahlawan dari pejuang AMKA,” tutur Aris.
Bukti pertempuran itu pun masih nampak pada lantai 3 gedung A Lawang Sewu misalnya, terdapat 3 rangka baja yang terhantam mortir, ada yang penyok dan ada pula yang putus. Bukti sejarah tersebut sengaja dibiarkan karena masih mampu menopang dengan kuat.
Discussion about this post