Ajakan tersebut tertuang baik secara tersurat maupun tersirat yang subtansinya adalah mengajak umat manusia, lebih khususnya umat Islam, menggunakan segala kemampuan intelektual dan spiritualnya untuk membaca secara mendalam realitas kehidupan. Mengajak manusia untuk senantiasa berfikir kritis dan reflektif terhadap fenomena yang berada di sekitarnya.
Terkadang dengan bahasa yang sangat halus, Allah SWT di dalam Al-Qur’an, mengajak dialog manusia dengan bahasa retorik. Bahkan Tuhan juga menyindir dengan sangat halus kemudian mengajak manusia untuk menggunakan akal fikirannya, misal afala ta’qiluun (apakah kamu tidak berfikir?), afala tatafakkaruun (apakah kamu tidak merefleksikan?), afala tadzabbaruun (apakah kamu tidak mengobservasi dan mengambil hikmah?) dan lain sebagainya.
Pesan dan semangat Iqra’ bukan hanya tertuang di dalam kitabullah, akan tetapi juga disampaikan secara langsung oleh Rasullulah SAW sebagai pembawa pesan profetik (kenabian). Banyak hadist yang menyerukan kepada umat Islam untuk bergiat diri dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Terlepas dari perdebatan derajat hadist, ada ungkapan yang cukup masyhur “tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Artinya, Rasulullah mampu membaca situasi, kondisi dan perkembangan peradaban manusia kontemporer di era-nya. Bahwa peradaban Cina saat itu telah mencapai puncak perkembangan. Peradaban Cina telah mengenal tradisi literasi, karya sastra, teknologi perang, arsitektur, birokrasi, dan bahkan Cina sudah menggunakan kertas sebagai media penyebaran ilmu pengetahuan. Tanpa kemampuan “literasi” geopolitik, maka mustahil Rasullulah menyampaikan pesan peradaban tersebut.
Konsekuensi perintah “membaca” mendorong agar umat Islam mampu menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemaslahatan kehidupan makhluk hidup di dunia. Bukan hanya bermanfaat bagi umat manusia, tapi juga bagi makhluk hidup yang lain, baik itu hewan, tumbuh-tumbuhan serta lingkungan alam (komitment terhadap keberlanjutan ketiga unsur makhluk hidup itulah yang kemudian dikenal dengan eco-literacy).
Maka secara eksplisit, Rasulullah mewajibkan kepada seluruh umat Islam (laki dan perempuan) untuk terus belajar, seperti yang tertuang dalam hadist yang cukup terkenal; “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat”.
Kemudian Rasullullah juga bersabda, “carilah ilmu dari buaian hingga liang lahat”. Mencari ilmu pengetahuan, belajar, dan membaca tidak dibatasi ruang dan waktu. Tidak dibatasi apakah masih muda dan tua. Tidak dibatasi lokasi; kota atau desa. Serta tidak dibatasi status ekonomi; kaya atau miskin. Singkatnya Islam menyerukan kepada umatnya untuk terus belajar meningkatkan kualitas dan kapasitas secara berkelanjutan atau belajar tanpa henti (never ending learning). (Moh. Mudzakkir, 2018).
Al-qur’an telah membahas tentang membaca, salah satunya ada di Surat Al-Alaq ayat 1 yang artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.
Dalam kajian Sayyid Quthb rahimahullah, bahwa surat ini adalah surat pertama dari Al Qur’an, maka ia dimulai dengan Bismillah, dengan nama Allah. Dan Rasulullah SAW pertama kali melangkah dalam berhubungan dengan Allah dan pertama kali menapaki jalan da’wah dengan Bismillah: “Iqra’ bismi rabbik”. (Tafsir Fi Zhilal Al Qur’an).
Dengan demikian dalam makna yang lebih luas, ayat pertama merupakan perintah untuk mencari ilmu, ilmu yang bersifat umum baik ilmu yang menyangkut ayat-ayat qauliyah (ayat Al Qur’an) dan ayat-ayat kauniyah (yang terjadi di alam). Ayat qauliyah ialah tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang berupa firmanNya, yaitu Al-Quran. Dan ayat-ayat kauniyah ialah tanda-tanda kebesaran Allah Swt yang berupa keadaan alam semesta.
Jika gerakan literasi dikaitkan dengan Al-Alaq ayat 1 maka memiliki makna bahwa Allah menciptakan manusia dari benda yang hina kemudian memuliakannya dengan mengajar membaca, menulis dan memberinya pengetahuan. Kebanyakan dari kita pasti sudah tahu bahwa wahyu yang pertama kali diterima Nabi Muhammad SAW adalah Surah Al-Alaq ayat 1-5. Peristiwa bersejarah itu terjadi ketika bulan Ramadan tahun 610 Masehi saat Nabi Muhammad SAW mengasingkan diri di Gua Hira.
Dikisahkan dari Aisyah radliyallahu ‘anha, ia berkata, “Pada awalnya, wahyu yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah ar-ru’ya ash-shalihah (mimpi yang baik) dalam tidurnya. Biasanya mimpi yang dilihatnya itu jelas seperti cuaca di pagi hari. Kemudian (setelah mimpi itu) beliau jadi senang menyendiri dan akhirnya menyendiri di Gua Hira untuk bertahannuts, yaitu beribadah di Gua Hira selama beberapa malam, dan tidak pulang ke rumah istrinya.”
Oleh sebab itu beliau membawa bekal makanan. Kemudian satu ketika beliau pulang kepada Khadijah, dan dibawa pula perbekalan untuk keperluan itu sehingga datang kepada beliau Al-Haqq (kebenaran, wahyu) pada saat beliau berada di Gua Hira. Maka datanglah kepada beliau malaikat (Jibril) dan berkata, “Bacalah!”
Jawab Rasulullah, “Aku tidak bisa membaca.” Nabi Muhammad menceritakan, “Lalu malaikat itu menarikku dan memelukku erat-erat sehingga aku kepayahan.” Kemudian malaikat itu melepaskanku dan kembali berkata, “Bacalah!”
Dan aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Lalu aku ditarik dan dipeluknya kembali kuat-kuat hingga habislah tenagaku. Sambil melepaskanku, ia berkata lagi, “Bacalah!”
Aku kembali menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Kemudian untuk ketiga kalinya ia menarik dan memelukku dengan kuat.
Ayat tersebut dinilai relevan dengan keadaan muslim saat ini, jika ditinjau dengan pendekatan Socio-Historis dri Abdullah Saeed meskipun ayat ini turun sejak abad ke 6. Menurut Ustadz Quraish Shihab dalam tafsir al-mishbah meliputi:
Pertama, tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai yaitu selalu mengembangkan potensi membaca dan menulis yang dimiliki, sehingga memperoleh manfaat. Kedua, guru yang paling utama adalah Allah SWT. Ketiga, yang menjadi peserta didik adalah Nabi Muhammad SAW, dan umat pengikutnya.
Keempat, materi pendidikannya selain materi pendidikan Islam juga tentang pelajaran membaca, menulis dengan qalam (pena), mengetahui segala sesuatu yang belum diketahui sebelumnya. Kelima, model pembelajaran yang digunakan dengan model pemprosesan informasi guru, interaksi sosial dan model perilaku.
Seorang ahli tafsir, Quraish Shihab (1998) berpendapat bahwa karena sangat penting dan strategisnya kata Iqra’ sehingga diulang dua kali dalam rangkaian wahyu pertama. Meskipun perintah tersebut disampaikan kepada Nabi Muhammmad SAW bukan berarti hanya beliau saja yang harus melaksanakan. Akan tetapi perintah tersebut juga bersifat umum, yang juga mencakup seluruh individu, kelompok dan masyarakat dalam kehidupan umat manusia.
Mengapa demikian? karena realisasi perintah membaca tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Artinya melalui aktivitas Iqra itulah manusia mampu mendorong dan mengarahkan masyarakat meraih kejayaan dan kesejahteraan, baik laihir maupun batin. Hal ini bisa membantu mewujudkan salah satu tujuan SDGs di Indonesia yaitu program pendidikan melalui kewajiban menuntut ilmu dengan gerakan literasi sebagai wujud peningkatan kualitas SDM di Indonesia`.(***)
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Pekerjaan Sosial, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Discussion about this post