“Bagaimana mungkin bisa, daerah-daerah kepulauan di negara ini jumlah DAU nya dihitung melalui jumlah wilayah dan penduduk. Tentu tidak akan bisa sama dengan di Pulau Jawa. Salah satu kabupaten di Bogor saja, jumlah penduduknya mencapai 6 juta, sedangkan Sultra se provinsi hingga hari ini hanya 3 juta jiwa terus, bagaimana cara menghitungnya,” katanya.
“Waktu saya jadi Gubernur Sultra periode 2003-2008, jumlah penduduk kurang lebih 3 juta jiwa, kok hari ini menjadi 2 juta 7 ratus jiwa. Apalagi dihitung dari jumlah wilayah, saat air laut surut itu bisa mencapai 3 kilo meter jauhnya, namun saat airnya naik kembali, kepulauan hampir-hampir tidak memiliki daratan lagi. Jadi memang harus ada pertimbangan kepulauan,” papar Ali Mazi.
Ali Mazi menyebut, di Sultra terdapat Suku Bajo yang merupakan warga asli Indonesia, dimana memiliki wilayah tetapi tidak mempunyai hak, diantaranya tidak memiliki hak keperdataan dengan alasan Suku Bajo mendirikan rumah di laut. Sedangkan Sultra menerima transmigrasi dari daerah Jawa, begitu tiba di Sultra langsung diberikan hak keperdataan dua hektare dan segala kebutuhannya. Sementara masyarakat Suku Bajo yang ada di pesisir pantai Sultra, tidak memiliki hak keperdataan.
“Jadi bagaimana mungkin Suku Bajo ini bisa memperjuangkan hak-haknya seperti orang-orang kita yang ada di daratan. Padahal mereka merupakan garda terdepan dalam menghadapi serangan dari laut dan mengelola laut dengan baik. Suku Bajo hidup sebagai nelayan tradisional, mereka bisa makan dan hidup tetapi tidak memiliki uang tunai, sehingga sulit memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Ini salah satu hal yang sangat memprihatinkan,” ulasnya.
Kesedihan Gubernur Sultra tak sampai disitu saja, ia juga mengungkapkan keprihatinannya melihat kehidupan masyarakat pada salah satu kecamatan di Sultra, tepatnya di Batu Atas yang belum memiliki listrik, air, bahkan pohon pun sulit tumbuh.
Untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat harus membeli singkong dari Jawa Timur melalui tukar menukar antar nelayan.
“Ini adalah satu permasalahan dari sekian banyaknya yang dialami daerah-daerah kepulauan di Indonesia. Tugas kita sebagai anak-anak bangsa untuk melihat dan meringankan penderitaan mereka,” kata Ali Mazi.
Ali Mazi mengenang, melalui deklarasi Ambon tahun 2005, dirinya dipercayakan menjadi Ketua BKS Provinsi Kepulauan. Deklarasi Ambon juga membahas tentang forum kerjasama antar pemerintahan daerah Provinsi Kepulauan hingga disepakatinya pembentukan Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan di Ternate.
Dalam perjalanan perjuangan tersebut, telah dilaksanakan berbagai agenda pertemuan untuk menggalang dukungan dari berbagai stakeholder, yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah kepulauan, melalui pembentukan regulasi yang memberikan kewenangan kepada daerah provinsi yang bercirikan kepulauan, untuk mengelola dan mengatur sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.
“Sumber daya manusia tidak maju, kalau membaca saja susah, apalagi masih menggunakan lilin atau lampu strongking, sementara Sultra cukup kaya akan SDA. Setelah melalui berbagai ikhtiar dilakukan, alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT, hasil dari berbagai upaya terbaik adalah lahirnya RUU Tentang Daerah Kepulauan, yang berisikan kewenangan daerah provinsi dan kabupaten kota kepulauan untuk mengelola SDA serta SDM dimiliki,” beber Ketua DPW NasDem Sultra itu.
Perjuangan Telah Sampai di RUU, Pengesahan Tak Tertunda Lagi
Dalam RUU Daerah Kepulauan tidak hanya mencakup daerah provinsi kepulauan yang berjumlah delapan provinsi, tetapi juga mencakup 86 daerah kabupaten kota kepulauan, dimana sebagian besar adalah bagian dari delapan provinsi anggota BKS. Selebihnya tidak tergabung dalam badan kerjasama BKS Provinsi Kepulauan.
RUU Daerah Kepulauan tersebut, akhirnya menjadi inisiasi DPD RI yang pada tahun 2020 lalu masuk dalam program legislasi nasional prioritas DPR RI, akan tetapi hingga berakhirnya masa sidang DPR RI tahun 2020, RUU ini belum juga disahkan.
Kini 2021, RUU ini kembali masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas DPR RI yang diantaranya bertujuan untuk:
1. Menjamin kepastian hukum bagi pemda di daerah kepulauan
2. Mengakui dan menghormati kekhususan dan keragaman geografis dan sosial budaya daerah kepulauan
3. Mewujudkan pembangunan daerah kepulauan yang berkeadilan
4. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing
5. Meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan, memberikan perlindungan, dan keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat di daerah kepulauan.
Sebagai Ketua BKS Provinsi Kepulauan, baik sebelum maupun setelah masuknya RUU ke dalam program legislasi nasional prioritas DPR RI, Ali Mazi terus aktif dalam berbagai upaya dalam mendorong percepatan pengesahan RUU Daerah Kepulauan.
Di antaranya pada 27 Januari 2020 di Ruang Rapat Komite Satu DPD RI, Ketua BKS Provinsi Kepulauan bersama anggota mengikuti rapat dengar pendapat umum, dengan agenda membahas dan pendalaman tentang RUU, yang diikuti diantaranya Ketua Komite Satu DPD RI, Ketua Perancang UU DPD RI, Ditjen Bangda Kemendagri, Ketua Tim Ahli RUU Kepulauan, Asisten Pemerintahan dan beberapa tim kelompok kerja dari BKS.
Selanjutnya, membuat surat kepada Gubernur Anggota BKS Provinsi Kepulauan dengan nomor 009 tanggal 18 Desember 2020, perihal permintaan dukungan dari para anggota DPD RI dan anggota DPR RI terkait percepatan pembahasan RUU Daerah Kepulauan.
Discussion about this post