Margiono pun pindah ke Jakarta. Ia memimpin Harian Merdeka yang hampir mati. Oplahnya, istilahnya, hanya satu becak saking sedikitnya.
Mesin cetak koran itu juga sudah tua. Sudah sering batuk-batuk.
“Kapan saya dibelikan mesin cetak modern?” tanyanya pada saya.
“Kalau oplah Merdeka sudah 40.000,” jawab saya.
Sehebat-hebat Margiono, saya pikir, baru akan mencapai oplah itu 3 tahun kemudian.
Saya salah.
Enam bulan di Merdeka, Margiono menemui saya “oplah Merdeka sudah 45.000,” katanya.
Saya tahu maksudnya: nagih janji mesin cetak modern.
“Hah? Sudah 45.000?” tanya saya setengah kaget.
Ternyata benar.
Saya pun minta Misbahul Huda, dirut PT Temprina, anak perusahaan Jawa Pos, untuk mencarikan mesin. Kebetulan satu perusahaan Israel membatalkan pemesanan mesin. Sudah siap dikirim pula.
Dengan cara biasa pembelian mesin perlu waktu 2 tahun. Ini tinggal kirim. Maka saya minta mesin itu dikirim pakai pesawat: pertama di Indonesia kirim mesin cetak pakai pesawat. Kami mencarter Boeing 747 cargo. Yang moncongnya bisa dibuka barang dikeluarkan dari moncong itu.
Dalam 24 jam mesin tiba di Cengkareng. Utang saya ke Margiono lunas.
Pak Diah pun meninggal dunia. Terjadilah apa yang tidak saya bayangkan: saham pak Diah jatuh ke ahli waris. Dengan ahli waris itu kami bertikai soal saham karyawan.
Kami tidak mau bertengkar.
Saya pun minta pendapat Margiono. “Kita mengalah saja. Harian Merdeka yang sudah sangat maju ini kita serahkan sepenuhnya kembali ke mereka. Termasuk deposito,” ujar Margiono.
“Lalu?”
“Kami semua akan berhenti dari Merdeka. Bos bikinkan kami koran baru lagi, yang milik kita sepenuhnya,” ujarnya.
“Apakah semua karyawan ikut Anda ke koran baru?” tanya saya.
“Paling, yang karyawan lama yang tidak ikut,” jawabnya.
“Nama koran baru nanti apa?” tanya saya.
Discussion about this post