“Harus ada kata ”merdeka” nya,” jawabnya.
“Tidak dikira ndompleng ketenaran Merdeka?” tanya saya.
“Kan ada juga koran lain yang pakai nama merdeka,” jawabnya. Saya pun tahu yang ia maksud: harian Suara Merdeka, di Semarang.
“Kalau begitu, beri saja nama Rakyat Merdeka,” kata saya.
Margiono pun setuju.
Lahirlah Rakyat Merdeka. Ternyata tidak hanya karyawan baru yang ikut Margiono. Pun seluruh karyawan lama.
Merdeka tetap terbit.
Rakyat Merdeka muncul.
Yunasa, manager percetakan, membongkar mesin Israel itu dalam satu malam.
Sebenarnya saya ingin mengikat Margiono untuk tetap di Jawa Pos. Saya angkat ia jadi salah satu direktur Jawa Pos, meski hanya administratif. Tapi Margiono akhirnya pilih di luar Jawa Pos. Ia sudah terlalu asyik dengan Rakyat Merdeka. Ia sudah melahirkan banyak koran di bawah bendera Rakyat Merdeka.
Bahkan ia membangun gedung tinggi di dekat BSD. Ada gedung kantor, ada hotel, dan business center.
Lalu saya mendengar Margiono menjadi Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Begitu banyak kegiatannya di PWI. Terutama di bidang pendidikan wartawan. Ia ciptakan pula Press Card No One. Ia hormati para wartawan senior dengan kartu seumur hidup itu. Saya termasuk golongan pertama menerima kartu itu entah di mana sekarang.
Margiono terpilih lagi, untuk periode kedua. Setiap tahun Margiono berpidato di depan Presiden saat Hari Pers Nasional. Pidatonya selalu menggelitik dan lucu. Mengkritik tapi juga memuji.
Ia memang seorang dalang wayang kulit. Begitu juga adiknya. Maka saya pun kehilangan dua dalang di kalangan wartawan kami: Margiono dan Suparno Wonokromo yang meninggal setahun lalu. Suparno adalah dirut kelompok media kami yang di seluruh Sumatera.
Pukul 08.45 kemarin, Rivo menghubungi Rumah Sakit Pertamina. Ayahnya masih di ICU Covid. Masih belum ada tanda-tanda lebih buruk.
Dua puluh menit kemudian Rivo menerima telepon dari RS: jantung ayahnya berhenti.
Margiono, maafkan saya lagi di Palembang. Doa kami dan teman-teman di Palembang ini untuk Anda.
Anda hebat sekali: hidup Anda telah membuat sejarah. Beberapa kali pula.(***)
Penulis merupakan mantan CEO Jawa Pos
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post