Karena itu, yang bisa membatalkan keputusan MPR adalah lembaga MPR itu sendiri. Artinya, TAP MPR harus dibatalkan dengan TAP MPR lagi, tidak bisa oleh undang-undang, apalagi keputusan presiden. Dan ini sudah dilaksanakan, TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 sudah dibatalkan oleh TAP MPR No I/MPR/2003.
Kalau pembatalan ini belum cukup dan negara perlu minta maaf, maka yang harus minta maaf seharusnya adalah lembaga MPR. Bukan Presiden. Tetapi, akibat amandemen UUD 1945 asli sebanyak empat kali sejak 1999-2002, MPR saat ini sudah tidak bisa mengeluarkan Ketetapan MPR yang bersifat kebijakan dan mengikat keluar.
Artinya, MPR tidak bisa minta maaf kepada pihak luar, dalam hal ini kepada Soekarno dan keluarga besarnya? Lagi pula, atas dasar apa MPR saat ini bisa menyatakan bahwa TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 tersebut keliru sehingga perlu minta maaf? MPR dalam hal ini juga dalam posisi dilematis.
Agar bisa memuaskan semua pihak, maka mau tidak mau harus diadakan proses penyelesaian hukum terlebih dahulu sesuai bunyi pasal 6 TAP MPRS tersebut. Apakah mungkin? Bagaimana kalau minta fatwa Mahkamah Konstitusi?.
Dalam beberapa kasus permohonan uji materi terkait TAP MPR, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat tidak berwenang mengadili TAP MPR terhadap UUD. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang mengadili undang-undang terhadap UUD.
Dengan demikian, amandemen UUD 1945 sudah mengakibatkan kekosongan hukum terkait TAP MPR. Berharap pemerintah Indonesia atau negara menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga besar Bung Karno sepertinya sulit terealisasi.
Demikian sumbang pemikiran ini diberikan dengan harapan dapat menjadi bahan diskusi lebih lanjut untuk mengisi kekosongan hukum pasca amandemen UUD.(***)
Penulis: Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post