Oleh: Wa Limi
Selama kurang lebih tiga bulan terakhir, masyarakat terus dibuat tercengang dengan persoalan kenaikan harga. Bahkan, kenaikan harga seakan sudah menjadi tren yang sulit diatasi. Bagaimana tidak, belum usai masalah kenaikan harga minyak goreng yang kian menggila, disusul harga kedelai yang juga naik, kemudian merembet ke harga daging sapi, kini masyarakat dikejutkan dengan kenaikan harga elpiji non subsidi.
Sebagaimana ramai diberitakan media, sejak 27 Februari 2022, PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Patra Niaga Sub Holding Commercial and Trading, Pertamina menaikkan harga gas elpiji non subsidi ukuran 5,5 kilogram dan 12 kilogram.
Mengenai alasan kenaikan elpiji non subsidi, Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Sub Holding C&T PT Pertamina (Persero) Irto Ginting menjelaskan, kenaikan harga elpiji dilakukan mengikuti perkembangan terkini dari industri minyak dan gas. Dimana, harga Contract Price Aramco (CPA) mencapai US$75 per metrik ton, naik sekitar 21 persen dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun 2021 (kompas.com, 1/3/2022).
Sementara, melansir Sindonews.com (Rabu, 2/3/22), Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengungkap alasan dibalik kenaikan elpiji non subsidi menjadi Rp15.500 per kilogram.
Ia membeberkan, Indonesia masih mengimpor LPG sebanyak 75-85 persen. Sehingga, ketika harga LPG dunia naik, maka LPG dalam negeri pun ikut terdampak. Ia menyebut, menaikkan harga gas non subsidi sebagai corporate action, agar Pertamina tidak merugi.
Selain itu, naiknya harga elpiji dunia beriringan dengan kenaikan harga minyak dunia yang mencapai US$106 per barel. Pertanyaannya, mengapa rakyat yang selalu dikorbankan? Lantas, bagaimana mungkin Pertamina mampu mewujudkan visi kemandirian energi nasional, jika terus mengikuti tren pasar dunia?
Akibat Liberalisasi
Kenaikan harga elpiji non subsidi berdampak bagi konsumen. Baik rumah tangga maupun pelaku usaha. Meskipun Pertamina mengklaim tidak ada kenaikan harga elpiji bersubsidi, tetapi praktik di lapangan belum tentu sesuai harapan. Apalagi, gap harga yang mencolok, bisa menyebabkan pengguna gas non subsidi beralih ke gas melon bersubsidi.
Hal ini berpotensi memicu kenaikan harga elpiji 3 kilogram tersebut. Pasalnya, sudah menjadi tabiat dalam sistem ekonomi hari ini, ketika permintaan atas suatu barang meningkat, maka harga barang tersebut akan naik.
Discussion about this post