<strong>Oleh: Rusdianto Samawa</strong> Masyarakat internasional memperingati Hari Laut Sedunia pada 8 Juni 2023 ini. Rakyat Indonesia, belum komitmen merayakannya. Belum seperti Hari Buruh. Hari Laut Sedunia sepi dari kegiatan intervensi dan suara keras rakyat untuk beri pesan peringatan kepada pemerintah yang membuat masa depan laut menjadi suram dan kelabu. PP 26/2023 tentang sedimentasi yang membungkus agenda oligarki untuk ekspor pasir laut. Tentu jelas, pengerukan dan penghisapan pasir laut merupakan skandal lingkungan laut. Maka, penting Hari Laut Sedunia memberi peringatan keras kepada pemerintah untuk ingat bahwa kondisi laut dunia, bahkan laut Indonesia yang menurun akibat pencemaran dan jauh dari sehat. Dahulu, masa pemerintahan Megawati telah melarang ekspor pasir laut dan tepatnya Februari 2003 juga terbit Surat Keputusan Bersama Menteri Industri dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Lingkungan Hidup dengan No: 117/MPP/Kep/2/2003 yang mengatur pelarangan ekspor pasir laut. SKB tersebut memuliakan kehidupan masyarakat pesisir, nelayan dan hutan-hutan pesisir serta pulau-pulau kecil. Karena berusaha mencegah kerusakan lingkungan akibat pengerukan dan penghisapan pasir laut diberbagai wilayah di Indonesia, seperti Riau, Kepri, Batam, NTB, Selatan Pulau Sumbawa (Samudra Hindia), dan Sulawesi Selatan. Terbitnya PP 26/2023 hadiah paling suram Hari Laut Sedunia. Pemerintah tidak berusaha mencegah kerusakan yang telah terjadi sebelumnya. Malah gelar karpet merah pada ancaman kerusakan yang dilakukan oleh para oligarki penghisap. Kapal-kapal penghisap pasir laut, akan menyebar di seluruh Indonesia. Mewarnai laut Indonesia yang berlomba-lomba dalam menghisap pasir laut. Selain itu, berpotensi melanggar zona penambangan dan ekosistem laut berdampak buruk. Rakyat Indonesia, terutama pesisir Indonesia akan sulit melihat pelangi karena aktivitas penambangan dan penghisapan pasir laut. Rakyat yang hidup di pesisir begitu sulit tengok masa depan yang cemerlang, karena hutan-hutan pesisir dan pulau-pulau terhambat tumbuh karena pasir yang merupakan penyangganya dikeruk. Masa depan wisata pesisir yang dirindukan masyarakat lokal untuk dikembangkan alami keterlambatan karena aktivitas penghisapan pasir laut tidak mengenal doktrin ramah lingkungan. Justru mereka menghisap dengan membuat kerusakan di dasar lautan. Oligarki penghisap pasir tidak memiliki peta kondisi iklim. Oligarki hanya mencari keuntungan semata. Sedimentasi bukan untuk dijual dan ekspor. Mestinya, pemerintah kelola sedimentasi dengan perluasan pulau-pulau kecil yang dihuni oleh masyarakat di pesisir. Karena selama ini, banyak masyarakat mendiami pulau kecil tidak mendapat akses reklamasi oleh pemerintah, seperti pulau-pulau Bajo di pelosok Indonesia. Pemerintah, mestinya melakukan moratorium terhadap kepemilikan izin lahan hutan oleh oligarki yang selama ini menyebabkan banjir berakibat lumpur, tanah, sampah dan batu gunung bermuara ke laut sehingga terjadi pendangkalan. PP 26/2023 harus berfokus pada sedimentasi wilayah pesisir sehingga pendangkalan dapat diatasi. Paling penting perbaikan pada hulu dan hilir sungai-sungai sehingga laut bisa bersih, sehat dan steril. Kalau pemerintah tetap memaksa ekspor pasir laut, maka kontra produktif terhadap visi poros maritim dunia yang selama ini dibanggakan. PP 26/2023 harus dievaluasi, dibatalkan, dan mengatur lebih jelas mulai dari perencanaan, pengawasan sampai dengan evaluasi terhadap proses pengerjaan sedimentasi, bukan pada ekspor pasir lautnya. PP 26/2023 penanda Hitam Putih Negara Maritim yang selama 8 tahun ini tidak berjalan pembangunan maritim. Justru negara sendiri, memberi jalan kerusakan yakni melalui oligarki rakus dan penghisap. Bayangkan dimasa depan, Indonesia bisa tenggelam dan pulau-pulau kecil bisa hilang akibat ekspor pasir laut. Sementara, Singapura memandang Indonesia merupakan lahan terbaik untuk dieksploitasi pasirnya. Tentu berdasarkan pengalaman Singapura mendatangkan pasir laut dalam skema proyek reklamasi yang berhasil perluas daratan Singapura dari tahun 1976 berkisar 527 kilometer persegi menjadi 681,7 km2 pada tahun 2001. Apa keuntungan buat rakyat? tidak ada untung, malah dimasa depan bisa tenggelam. Padahal belum selesai batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga masih melarang ekspor pasir laut. Pembukaan keran ekspor pasir laut dibungkus sedimentasi setelah 21 tahun dihentikan. Sedimentasi dipakai untuk akomodir kepentingan oligarki yang selama ini mengeruk pasir laut secara ilegal di empat wilayah di Kepulauan Riau yakni Batam, Bintan, Karimun dan Lingga. Bahkan, wilayah Karimun sudah miliki izin Wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Sementara wilayah Kabupaten Lingga terdapat lima perusahaan yang sudah kantongi izin WIUP, yang terdapat di wilayah Singkep dan Daik Lingga. Kemudian di Kabupaten Bintan terdapat satu perusahaan yang sudah mendapat izin WIUP yaitu di wilayah perbatasan Bintan dan Kota Batam. Kemudian di Kota Batam terdapat sembilan perusahaan yang tersebar di Kecamatan Nongsa, Batu Besar, Belakang Padang dan Galang. Lalu, tambang pasir laut yang di atas 12 mil laut tersebar di wilayah Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu, Lampung, Banten, dan Sulawesi Selatan. Seharusnya pemerintah belajar dari kasus-kasus ilegal yang dahulu terjadi. Pemerintah kalau belajar, tidak akan keluarkan peraturan tersebut yang merugikan lingkungan dan masyarakat pada umumnya. Berharap kebijakan terkait ekspor pasir laut kembali dievaluasi. Sekarang, penilaian masyarakat pada poros maritim hanya kampanye pencitraan saja. Pemerintah tidak konsisten melaksanakan janji maritim (deklarasi Juanda). Salah satu peringatan Juanda saat penandatangan deklarasi adalah "Menjaga kedaulatan laut, memperbaiki kehidupan bangsa, negara dan rakyat. Meluruskan kiblat maritim Indonesia agar dapat terwujudnya kesejahteraan (Welfare Maritim)." Pemerintah tidak mengerti makna dan filosofi Juanda. Pemerintah rezim sekarang, membuat Indonesia lebih hancur dan dimasa depan bisa tenggelam akibat eksploitasi pasir laut secara berlebihan. Inilah Hitam Putih Negara Maritim tanpa jaminan keselamatan dan kesejahteraan rakyat dari potensi maritim (Maritim Welfare State).<strong>(***)</strong> <strong>Penulis: Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)-Menulis dari Bandara Lombok (BIL), NTB</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/5IH6fElhp6c
Discussion about this post