Undang-undang baru Madagaskar dikritik oleh kelompok hak asasi manusia Amnesty International sebagai “perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat,” yang tidak sesuai dengan hukum konstitusional negara tersebut. Undang-undang tersebut seharusnya lebih fokus pada perlindungan korban, kata Nciko wa Nciko, seorang penasihat untuk Madagaskar di Amnesty International.
“Di pulau ini, prosedur pengaduan dan persidangan tidak dilakukan secara anonim,” katanya.
“Terdapat ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan pidana Malagasi, karena ketidakjelasan dan korupsi. Dan pembalasan terhadap korban pemerkosaan sering terjadi. Namun, hukum tidak memerangi faktor-faktor ini,” tambah Nciko.
Pengebirian melalui operasi, kata dia adalah hukuman pidana yang bermasalah jika seseorang yang menjalaninya kemudian dibebaskan dari kejahatan di tingkat pengadilan banding. Nciko juga meragukan kemampuan otoritas medis untuk melaksanakan prosedur tersebut.
Namun di tengah kritik tersebut, beberapa aktivis di Madagaskar setuju dengan perubahan hukum tersebut karena tidak ada cara lain yang tampaknya berhasil.
“Memang ada budaya pemerkosaan di Madagaskar,” kata Jessica Lolonirina Nivoseheno dari kelompok Women Break the Silence, yang berkampanye menentang pemerkosaan dan mendukung para korban.
“Kami sedang dalam proses menormalkan kasus-kasus kekerasan seksual tertentu, juga meminimalkan keseriusan kasus-kasus ini,” terang Jessica.
“(Undang-undang baru) ini merupakan sebuah kemajuan, karena ini adalah hukuman yang membuat jera. Hal ini dapat mencegah calon pelaku untuk melakukan aksinya… tetapi hanya jika kita, sebagai warga negara, menyadari keberadaan dan pentingnya hukuman baru ini,” pungkas Jessica.
Sumber: voaindonesia
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post