PENASULTRAID, SINJAI – Hutan mangrove Tongke-tongke mengukir kisahnya sendiri di jantung Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Ini bukan sekadar gugusan pohon bakau. Ia sebuah permata hijau yang menyimpan janji perlindungan dan pesona yang senantiasa berkilau.
Dalam beberapa tahun terakhir, Tongke-tongke merajut perubahan cepat, membuka diri menjadi tempat wisata yang semakin memesona dan terawat. Ia menatap masa depan cerah, sebuah bukti nyata kerja sama mesra antara alam dan manusia.
Kawasan yang membentang seluas 173,5 hektare ini berdiri tegak di Desa Tongke-tongke, Kecamatan Sinjai Timur. Jaraknya yang hanya 5 kilometer dari pusat kota Sinjai membuat Tongke-tongke selalu menyambut ramah para pengunjung, terutama di hari libur.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno tempo hari, mengangkat kehormatannya dengan menetapkan kawasan ini sebagai desa wisata unggulan. Sebuah pengakuan yang memompa semangat warga setempat untuk terus merawat dan mempercantik rumah hijau mereka.

Jembatan Kayu Merangkai Kisah
Saat kaki melangkah memasuki gerbangnya, Tongke-tongke menyambut dengan jalan lintasan yang kokoh, membentang panjang di atas permukaan air. Jembatan-jembatan kayu ini merangkai jalur penjelajahan, mengajak setiap orang berkenalan lebih dekat dengan kehidupan mangrove yang berdegup di bawah.
Hutan mangrove kini tampak semakin rimbun, dan tracking kayu menarik garis-garis baru, mengajak wisatawan menyelami kedalamannya. Beberapa bungalo wisata telah berdiri anggun, serta sebuah menara pantau setinggi 10 meter menjulang bangga, menawarkan pandangan mata yang luas ke cakrawala hijau dan biru.
Untuk memasuki kawasan ini, loket tiket bersiap melayani, membuka pintu petualangan dengan harga terjangkau: Rp10 ribu untuk dewasa dan Rp5 ribu untuk anak-anak.
Dalam kunjungan baru-baru ini, saya bertemu dengan salah seorang pengelola warung terapung yang telah lama menambatkan harapannya di sana. Warungnya terpisah mesra dari jalur utama oleh sebuah jembatan kecil. Ia bercerita tentang metamorfosis Tongke-tongke.
Sang pengelola mengatakan Tongke-tongke telah berlari kencang dalam pembangunan. Ia menambahkan bahwa pemerintah dan warga bergandengan tangan terus menanami mangrove, memperluas bentangan hijau hingga menyelusup ke luar kawasan utama.
Benar saja, tanaman-tanaman mangrove kecil menyembul lincah di beberapa sudut laut, menegaskan semangat rehabilitasi terus bergelora.

Benteng Hidup dari Amukan Alam
Peran hutan mangrove ini jauh melampaui sekadar tempat wisata. Ia benteng hidup yang berdiri setia menjaga Desa Tongke-tongke. Pohon-pohon bakau yang berakar kuat ini memeluk erat pesisir, melindungi desa dari amukan banjir bandang dan gelombang besar akibat gempa.
Sang pengelola warung mengangguk setuju saat menyebut peran penting ini. Ia menyatakan larangan menebang mangrove sangat tepat karena manfaat mangrove adalah perisai bagi mereka. Ia mengingat kembali banjir bandang besar di Sinjai pada 2016 dan mengungkapkan bahwa daerah sekitar Tongke-tongke terjaga relatif aman, terlindung oleh keberadaan mangrove.
Peristiwa gempa pun pernah mencoba menguji ketahanan kampung. Ia menjelaskan air sempat naik, namun kampung mereka tetap aman karena mangrove berdiri kokoh. Pengalaman ini memperkuat keyakinan warga. Mereka merelakan lahannya terus ditumbuhi bakau, bahkan ikut aktif menjaga dan memperluas kawasan ini.
Pemerintah pun bertindak tegas, menjaga kawasan ini dari tangan-tangan perusak, baik untuk kepentingan penimbunan, pembangunan rumah atau pengambilan kayu bakar.
Sang pengelola mengisahkan bahwa dulu pernah ada orang yang mencoba membabat pohon di bagian luar karena diklaim sebagai milik pribadi, namun orang tersebut akhirnya ditangkap polisi. Ia mengakui bahwa isu klaim kepemilikan warga memang sempat menjadi masalah.
Ia menjelaskan bahwa di masa lalu sudah menjadi kelaziman jika warga menebang pohon mangrove yang besar-besar untuk kepentingan membangun rumah, karena kayunya kokoh dan tahan lama. Kini aktivitas penebangan semakin jarang dilakukan karena ketatnya aturan.
Menurutnya, masih ada yang menebang untuk mengambil kayu di tanah milik sendiri, namun biasanya mereka hanya mengambil di bagian tengah saja.

Dapur Ekologis yang Murah Hati
Di balik fungsinya sebagai pelindung, mangrove menawarkan kemurahan hati yang lain. Ia menjadi dapur ekologis yang kaya bagi warga sekitar, khususnya para nelayan. Ekosistem mangrove menyediakan rumah nyaman bagi beragam fauna yang berharga ekonomis, seperti ikan dan kepiting.
Nelayan kepiting menjalankan ritual harian. Memasang bubu di sore hari, kemudian menuai hasilnya di keesokan paginya. Meskipun hasil tangkapan kepiting tidak selalu melimpah dibandingkan hasil melaut mencari ikan tongkol, hasil ini menjadi rezeki tambahan yang berharga.
Sang pengelola warung terapung mengaku dirinya memiliki sekitar enam bubu. Ia mengatakan hasilnya tak banyak, namun cukup untuk penghasilan tambahan.



Discussion about this post