Dia berpendapat bahwa sekarang sudah jarang yang menangkap kepiting karena hasilnya kurang dibanding melaut cari ikan tongkol, namun ia merasa hasil tersebut lumayan sebagai tambahan penghasilan.
Perempuan itu menyebut hasil tangkapan kepiting biasanya lebih banyak digunakan untuk konsumsi pengunjung, serta terkadang tidak mencukupi. Di warungnya, ia melayani pemesanan paket hidangan laut untuk pengunjung minimal 10 orang dengan tarif Rp800 ribu per paket atau Rp1,5 juta untuk paket 20 orang.
Kawasan Tongke-tongke menampung kekayaan biota laut yang luar biasa. Kepiting bakau berlari lincah di antara akar, udang dan beragam jenis ikan kecil menjadikannya tempat bertelur aman sebelum berenang ke laut lepas.
Penelitian Universitas Hasanuddin mencatat adanya 27 spesies ikan, 4 spesies udang, serta setidaknya 8 spesies gastropoda dan 8 spesies bivalvia yang setia menetap di kawasan ini.

Semangat Pemulihan yang Menjalar
Kawasan Mangrove Tongke-tongke merupakan perpaduan harmonis antara mangrove alami dan pohon-pohon hasil pemulihan. Kisah upaya penghijauan kembali pesisir ini telah dimulai sejak tahun 1986, dipelopori oleh semangat swadaya masyarakat desa melalui Kelompok Pencinta Sumber Daya Alam – Aku Cinta Indonesia (KPSDA-ACI).
Tiga jenis mangrove tumbuh subur sebagai bagian dari program rehabilitasi. Bakau hitam, api-api dan nipah. Bakau hitam menjadi primadona dalam program penanaman kembali ini.
Mangrove di Tongke-tongke memang didominasi oleh bakau hitam yang alami, sementara hasil rehabilitasi banyak menanam jenis api-api. Meskipun pohon-pohon ini menjulang tinggi, batangnya terlihat kurus karena jarak tanam yang terlalu rapat, hanya sekitar 1 meter, padahal idealnya 1,5 hingga 2 meter.
Kepentingan awal penanaman rapat-rapat ini, yang digagas oleh Taiyeb, berfokus pada perlindungan dari abrasi dan benturan kencang angin masuk kampung.
Meskipun demikian, kondisi rapat ini sebaiknya dipertahankan karena sesuai dengan tujuan utamanya sebagai benteng alam dan pusat pembelajaran rehabilitasi. Kekuatan Tayyeb, pelopor konservasi yang menerima penghargaan Kalpataru pada 1995, terletak pada inisiatif awalnya ini.
Salah seorang tokoh setempat menyuarakan kekhawatiran bahwa intervensi penjarangan justru berlawanan dengan inisiatif awal untuk menjadi pembelajaran rehabilitasi, dan berpotensi melegitimasi penebangan mangrove lain di sekitar.
Ia menyimpulkan bahwa mereka berpikir lebih baik membiarkannya saja dan tidak melakukan perubahan, sekaligus menjaga semangat dan menghargai upaya gigih masyarakat.

Pesona Tiada Tara Sang Primadona
Negeri tercinta kita, memamerkan keindahan alam yang tiada habisnya. Dari Sabang hingga Merauke, tempat-tempat memukau tersebar mudah ditemukan. Sebagai penduduk asli, kita sepatutnya berbangga tinggal di kepulauan yang dikelilingi pesona yang tak tertandingi.
Tak heran, banyak wisatawan mancanegara rela berdatangan hanya untuk menikmati objek wisata populer Indonesia. Di antara gemerlap destinasi tersebut, Hutan Mangrove Tongke-tongke bersinar sebagai salah satu primadona wisata bahari.
Pemandangan laut lepas yang terhampar luas, berpadu mesra dengan rimbunnya pohon bakau di sepanjang pantai, memanjakan setiap mata yang menatapnya. Wisatawan bisa menikmati keindahan Pulau Sembilan yang tampak malu-malu dari kejauhan.
Kepala Dinas Pariwisata Sinjai mengatakan Hutan Mangrove Tongke-Tongke dikenal sebagai salah satu gugusan bakau terluas di Indonesia, menjadikannya daya tarik utama bagi wisatawan. Ia menambahkan bahwa tempat ini sangat populer, terutama pada hari libur, bahkan menjadi penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar di Sinjai.
Dengan banyaknya spot foto menarik yang telah disiapkan di kawasan ini, Tongke-tongke mengajak pengunjung mengabadikan setiap momen indahnya. Popularitasnya kian menjulang, terutama saat hari libur. Bahkan, destinasi ini telah membuktikan kemampuannya dengan menjadi penyumbang PAD terbesar bagi Sinjai.
Tongke-tongke tidak hanya menjadi daya tarik wisata, namun juga sebuah laboratorium hidup untuk pengembangan mangrove di Sulawesi Selatan. Sebuah pusat restorasi dan pembelajaran mangrove yang terus berkarya.
Tongke-tongke telah menyelesaikan transformasinya. Dari ancaman abrasi pada 1985, ia telah bangkit menjadi wisata andalan yang melindungi, menghidupi dan mendidik.
Ia membuka pintunya setiap hari dari pukul 8.00 hingga 17.45 WITA. Ia mengajak kita semua mengenal lebih dekat Sang Penjaga Pesisir yang berbisik tentang ketahanan dan keindahan sebuah ekosistem.
Penulis: Nafsul Muthmainnah
Jangan lewatkan video populer:



Discussion about this post