Oleh: Rusdianto Samawa
Beberapa waktu yang lalu, paradigma Deforestasi (Hutan Gundul) disinggung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Selain itu, Presiden Joko Widodo juga mengkritik keras banyak perusahaan dan industri yang mengunduli hutan. Menteri Kehutanan, tegaskan definisikan deforestasi (hutan gundul) sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.30/MENHUT-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).
Melansir kompastv (2021) penyebab Deforestasi karena pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pertanian jagung, kebakaran hutan, dan illegal loging atau produksi kayu yang berasal dari konsesi Hak Pengusaha Hutan (HPH). Tentu, dampak Deforestasi sangat buruk bagi tanah, lingkungan dan kawasan laut. Terutama masyarakat pesisir yang selama ini bergantung pada dua mata pencaharian yakni Laut dan hutan (nelayan dan bertani).
Siti Nurbaya Menteri LHK dalam penjelasannya diberbagai lama resmi media, (2021) katakan jika hutan hilang akan mengakibatkan air tidak dapat meresap ke tanah. Jelas muaranya aliran air ke laut dan sungai. Sehingga air hujan yang turun mengalir ke permukaan bumi akan menyebabkan erosi dan abrasi.
Menurut Arief Satria (Kompas, Senin, 08 Juni 2015) melansir data WWF, The Global Change Institute and The Boston Consulting Group (2015), nilai aset kelautan dunia mencapai 24 triliun dollar AS yang terdiri dari potensi yang diambil langsung dari perikanan, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun sekitar 6,9 triliun dollar AS, transportasi laut 5,2 triliun dollar AS, penyerapan karbon 4,3 triliun dollar AS, dan jasa lain 7,8 triliun dollar AS. Hampir dua pertiga produk kelautan tersebut bergantung pada laut yang sehat.
Masih menurut Arif Satria (2015) mengutip juga data FAO bahwa kerusakan kawasan kelautan dan perikanan, bahwa 90 persen stok perikanan dunia kondisi mengkhawatirkan, sekitar 61 persen sudah mengalami tangkap penuh (fully exploited) dan 29 persen sisanya tangkap lebih (over exploited). Begitu pula tingkat kerusakan mangrove 3-5 kali dari laju deforestasi. Sekitar 29 persen padang lamun juga telah rusak. Begitu pula kerusakan terumbu karang dunia mencapai 50 persen; dan pada 2050, dengan kenaikan suhu seperti saat ini, terumbu karang akan musnah.
Greenpeace (2021) menemukan jenis-jenis sampah dari tiga pantai di Indonesia, yakni sekitar 797 jenis merek sampah plastik, sebanyak 594 merek makanan dan minuman, kemudian sekitar 90 jenis merek perawatan tubuh. Lalu, sebanyak 86 jenis merek kebutuhan rumah tangga, dan lainnya sekitar 27 jenis merek.
Sala satu contoh bulan Desember tahun 2020, Banjir Kabupaten Bima merendam sejumlah 30 Desa dan 4 Kecamatan diatas, terdapat 12 desa pesisir yang terdampak. Rata-rata di 12 desa ini, terdapat nelayan; lobster, nelayan penyelam tangkapan ikan, lobster, cumi, gurita dan kerusakan terumbu karang. Ada juga nelayan terdampak pada penangkapan ikan dan komoditas lainnya.
Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumber daya pesisir dan lautan di Indonesia yaitu: pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan bencana alam banjir.
Laut merupakan kawasan perairan yang memiliki cakupan luas, dikelilingi daratan. Laut juga, memiliki peran penting dalam siklus air, siklus karbon, dan siklus nitrogen. Karena adanya aneka ragam tumbuhan laut, hewan laut dan biota laut yang hidup. Wilayah pesisir inilah, sebagian besar muara banjir yang terjang Bima saat ini. Tak bisa saling menyalahkan untuk masa depan.
Penataan pembangunan: Permukiman, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan. Bangun kesadaran bahwa dimasa depan, kita lebih baik. Karena memiliki arti penting bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya masyarakat nelayan yang harus berjibaku menjaga kelestariannya. Kalau setiap tahun banjir bandang seperti sekarang, maka obyek wisata yang bisa dikembangkan akan mengalami kemunduran.
Tentu, wilayah pesisir dan laut yang masih lestari memiliki potensi perikanan yang melimpah dapat menyebabkan kerusakan luar biasa, apabila deforestasi belum bisa dihentikan. Terumbu karang tempat ikan bertelur dan berkembang biak tidak bisa terjaga sehingga berdampak pada menurunnya kualitas ikan dan matinya terumbu karang. Jika kelestarian perairan laut dapat terus terjaga dan dikelola secara berkelanjutan dapat menunjang perekonomian masyarakat pesisir yang pada umumnya berprofesi sebagai nelayan secara turun temurun.
Namun sebaliknya jika potensi pesisir perairan laut dicemari oleh banjir secara terus menerus, maka tidak akan menunjang kehidupan ekonomi masyarakat pesisir (nelayan) secara turun temurun, karena potensi yang dimiliki akan habis atau punah sehingga tidak akan dinikmati lagi oleh anak cucu di masa mendatang.
Rare dan DKP Sultra Beri Pelatihan Implementasi PAAP https://t.co/q1gfr5riUB
— Penasultra.id (@penasultra_id) December 8, 2021
Banjir sendiri, jelas memporak-porandakan perekonomian masyarakat, perairan pesisir tercemar dan kerusakan dapat dicegah. Padahal, Kabupaten Bima memiliki eksotisme wilayah perairan yang luas dan gugusan pulau-pulau kecil yang indah. Perairan laut Pulau Kabupaten Bima dipenuhi dengan beraneka ragam biota laut seperti ikan, bebatuan laut, terumbu karang dan masih banyak lagi jenis biota lainnya. Kerugian ada pada masyarakat nelayan yang menggantungkan hidupnya pada pendapatan harian dari hasil melaut.
Hutan adalah penyedia kehidupan bagi makhluk yang berada di daratan. Sementara di kedalaman laut, terumbu karang adalah penyedia kehidupan itu. Namun, deforestasi menjadi ancaman keberadaan terumbu karang. Bagi ikan, terumbu karang bisa menjadi tempat berlindung, memijahkan telur, hingga tempat beristirahat. Makin banyak ikan herbivora di sekitar terumbu karang berarti makin banyak ikan pemangsa, dan akan ada ikan pemangsa dari “kelas” yang lebih tinggi.
Discussion about this post