Margiono adalah mantan Ketua Umum PWI Pusat dua periode. Dua periode dalam kepengurusan PWI Pusat (2008-2018) kami bahu membahu menjalankan roda organisasi wartawan tertua di Indonesia itu. Saya Sekretaris dan Ketua Dewan Kehormatan PWI. Ada masa-masa sulit, tapi kesulitan itu bisa dibuat mudah oleh Margiono.
Bahkan pada periode kepemimpinannya iuran anggota yang sulit ditagih, dibebaskan. Free of charge. Tidak hanya itu. Margiono sering pula membiayai atau sekurangnya menalangin kebutuhan dana organisasi PWI dari kantong pribadinya. Dan, itu sejak awal. Dimulai ketika terpilih sebagai Ketua Umum PWI di Kongres Aceh tahun 2008. Renovasi kantor PWI besar-besaran dibiayainya sendiri.
Mahasiswa KKN Tematik Unram Sosialisasi Pengolahan Sampah di Desa Gelangsar https://t.co/3EO4XhN4ym
— Penasultra.id (@penasultra_id) February 1, 2022
Sebagai Ketua Umum PWI Pusat, Margiono memang dibekali banyak “perlengkapan”. Nama dan reputasinya cukup membanggakan. Dia dikenal sebagai wartawan pemberani. Salah satu media yang dipimpinnya dulu, Majalah “Detektif Romantika” pernah bikin geger Indonesia. Sampul depannya menampilkan Presiden Soeharto dalam bingkai kartu King.
Seperti bisa ditebak, dan sudah diperhitungkannya, media itu memang kena breidel penguasa. Margiono juga dapat sanksi dari organisasi PWI.
Margiono adalah wartawan dan direksi group media besar Jawa Pos. Dua puluh tahun terakhir ia mengembangkan grup media sendiri Rakyat Merdeka. Media ini termasuk berani.
Pernah dalam satu kurun, terutama diawal-awal, Rakyat Merdeka menyajikan isu- isu sensitif yang menyerempet kekuasaan. Salah satu headlinenya yang sempat digugat di Pengadilan, berjudul “Megawati Minum Solar” terbit di masa pemerintahan Megawati sebagai Presiden RI.
Margiono cerita, masa itulah dia kebingungan. Bersamaan disatu hari medianya menghadapi sidang gugatan di banyak pengadilan. Untuk mengatasinya, dia pun memutuskan mengangkat 11 Pemimpin Redaksi.
“Supaya semua sidang gugatan bisa dilayani,” katanya.
Kenapa headline Rakyat Merdeka keras semua? Suatu kali ia ditanya itu.
“Ini era yang kalau tidak berteriak keras, tidak ada yang mau perduli aspirasi rakyat,” ucap Mardiono kala itu.
Kembang HPN
Margiono telah tiada. Ia pergi sepekan sebelum peringatan Hari Pers Nasional 2022 di Kendari, 7-9 Februari mendatang. Salah satu daya tarik HPN selama masa kepemimpinannya, adalah dirinya sendiri. Dia adalah “kembang” HPN. Kemampuannya berpidato memukau mulai wartawan muda dari daerah terpencil hingga orang nomer satu di republik ini.
Saya kira pidato itu salah satu yang akan dikenang banyak orang dari Margiono. Ia hanya bisa ditandingi oleh Tarman Azzam, dalam urusan pidato. Tarman adalah Ketua Umum PWI Pusat, juga dua periode, yang digantikan oleh Margiono. Tarman Azzam wafat 2016.
Pidato Margiono selalu dinanti. Tadi pagi saya sempat jogging dengan Marah Sakti Siregar, wartawan senior, mantan Ketua PWI Jaya.
Discussion about this post