“Ini merupakan persoalan ketatanegaraan bangsa Indonesia dimana MK diduga tunduk kepada kekuasaan. Seharusnya hukum yang mestinya dijadikan panglima untuk melindungi masyarakat dari ketidakadilan para penguasa. Ini malah menjadi sebaliknya hukum dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan,” semprotnya.
Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi itu kembali menegaskan bahwa MK melakukan pengujian UU terhadap dua persoalan baik secara formil maupun materiil.
“Dalam arti materiil ialah pengujian atas materi muatan undang-undang, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya telah sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan sedangkan dalam konteks pengujian formil, menitikberatkan wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif telah sesuai dengan naskah akademik yang berlandaskan faktor filosofis, yuridis dan sosiologis,” tegas Hamrin.
Pria kelahiran Desa Parigi, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara itu mengaku prihatin atas putusan MK. Sebab, hal itu merupakan preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dan menjadi contoh ancaman yang berdimensi legislasi hukum tidak boleh dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan.
Hakim harus tetap independen dan berdiri tegak demi menjaga konstitusi bukan sebagai alat untuk memuluskan syahwat kekuasaan demi kepentingan kelompok dan golongan tertentu,” tekan Hamrin.
Discussion about this post