<strong>Oleh: Sri Sunarti</strong> Pada periode Januari-Oktober 2021, Komnas Perempuan menerima aduan 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Angka ini melonjak drastis dua kali lipat jika dibandingkan pada tahun 2020. Hal ini menunjukkan semakin sempitnya ruang aman bagi perempuan. Maka sebuah keniscayaan bagi Indonesia dilabeli “DARURAT” kekerasan seksual. Mirisnya, tindakan kekerasan seksual sudah merajalela diseluruh penjuru Nusantara tak terkecuali di Bumi Anoa Sulawesi Tenggara. Pasalnya, seperti dilansir oleh Sultrafajar.co.id belum lama ini seorang remaja dibawah umur telah digauli oleh empat orang pelaku pencabulan. Beruntung pelaku telah diringkus oleh tim Buser 77 polresta kendari. Terbaru, seorang wanita pria (waria) berinisial AS di Kabupaten Konawe, Sultra ditangkap polisi atas aksi pencabulan terhadap seorang bocah. Pelaku sempat menjanjikan korban uang Rp 500 ribu sebelum beraksi (Detik Sulsel 02/06/2022). Jika dicermati, darurat kekerasan seksual yang kian menjadi saat ini tidak berbanding lurus dengan upaya penanganannya. Dengan kata lain tindakan kekerasan seksual hanya sebatas deretan angka tanpa solusi. Para korban ditinggal begitu saja tanpa kejelasan dan dukungan. Alhasil, korban merasa kian terpojok dan kehilangan semangat dalam meniti kehidupan. Disadari atau tidak, kemudahan generasi milenial mengakses internet menjadi salah satu penyebab remaja dan masyarakat umum mendapatkan tontonan yang tidak layak dijadikan tuntunan. Hingga mulai mencari pelampiasan penyaluran hasrat seksual tanpa melihat siapa objek pemuas tersebut. Maka bukan sebuah sikap yang berlebihan jika orangtua selalu merasa was-was ketika anak mereka berada diluar rumah, baik laki-laki maupun perempuan. Hilangnya rasa aman merupakan persoalan tersendiri bagi masyarakat. Oleh karena itu, kita hendaknya melihat kasus-kasus tersebut secara holistik dan komprehensif. Sebab, hal ini bukan sekadar persoalan hukuman bagi pelaku atau nasib korban yang nantinya mengalami trauma berkepanjangan. Persoalan tindak asusila, tidak sekedar menyelesaikan kasus per kasus. Karena, kejadian yang sama terus berulang dari tahun ke tahun. Mengapa begitu banyak predator seksual berkeliaran? Pemerintah mesti berupaya untuk meminimalisir dan mencegah tindak asusila maupun kejahatan seksual terhadap remaja bahkan anak dibawah umur. Hanya saja, sejumlah regulasi sepertinya belum cukup mengatasi persoalan ini. Artinya aturan yang ada belum menyentuh akar permasalahan. Merebaknya kasus asusila terhadap anak sejatinya karena tidak adanya perlindungan berlapis untuk anak. Hal ini disebabkan oleh tereduksinya pemahaman tentang kewajiban negara, masyarakat, dan keluarga serta tidak diberlakukannya aturan baku di tengah-tengah masyarakat. Inilah konsekuensi hidup di alam sekuler liberal. Sistem ini dengan kejamnya mengikis fondasi paling mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu keimanan serta berlakunya syariat Islam. Akibatnya, kaum muslim kehilangan gambaran nyata tentang bagaimana kehidupan islam yang sesungguhnya. Mencukupkan diri bahwa Islam hanya batas pada ibadah ritual semata. Aturan Islam tergantikan dengan hukum sekuler buatan manusia. Akhirnya, aturan ini mendominasi tata pergaulan sosial dimasyarakat. Padahal, Islam memiliki solusi paripurna dan integral. Terbukti mampu menyelesaikan persoalan maraknya perbuatan asusila dan kejahatan seksual antara lain: Pertama, lapisan preventif, yaitu pencegahan. Islam mengatur secara terperinci batasan-batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, yakni (1) mewajibkan perempuan menutup aurat dengan berhijab syar’i (kewajiban memakai jilbab dan kerudung di ruang publik); (2) kewajiban menundukkan pandangan bagi laki-laki dan perempuan; (3) Larangan berkhalwat, tabaruj (berhias di hadapan nonmahram), dan berzina; (4) Islam memerintahkan perempuan didampingi mahram saat melakukan safar (perjalanan lebih dari sehari semalam) dalam rangka menjaga kehormatannya; dan (5) Islam memerintahkan untuk memisahkan tempat tidur anak. Kedua, lapisan kuratif, yaitu penanganan. Dalam hal ini, penegakan sistem sanksi Islam wajib terlaksana. Terdapat dua fungsi hukum Islam, yakni sebagai zawajir (memberikan efek jera) dan jawabir (penebus dosa) bagi pelaku tindak kejahatan. Ketika hukum Allah berjalan, tidak ada istilah tawar-menawar bagi manusia untuk menangguhkan hukuman tersebut. Hukum Islam sangat adil memberi ganjaran dan balasan pada pelaku maksiat. Ketiga, lapisan edukatif, yaitu pendidikan dan pembinaan melalui sistem pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah Islam. Individu dan masyarakat akan terbina dengan Islam. Syariat Islam sebagai standar perbuatan. Ketika individu bertakwa, masyarakat berdakwah, aktivitas amar makruf nahi mungkar menjadi tabiat mereka maka angka kejahatan dan kriminalitas bisa terminimalisasi dengan baik. Keempat, peran negara. Semua lapisan tersebut tidak akan bisa berjalan tanpa peran negara. Negaralah pihak yang paling bertanggung jawab melaksanakan dan mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi rakyat. Sistem pendidikan dan tata pergaulan Islam tidak bisa terlaksana tanpa kehadiran negara sebagai pelaksana syariat secara kaffah. Negara bisa melakukan kontrol terhadap media serta propaganda yang mengajak pada kemaksiatan. Sebab, tugas negara adalah menjaga generasi agar berkepribadian Islam serta mencegah mereka melakukan kemaksiatan baik dalam skala individu maupun komunitas. Demikianlah, sederet langkah yang mesti ditempuh negeri ini jika ingin terbebas dari masalah kekerasan seksual beserta turunannya. Wallahu a'lam bisshowwab.<strong>(***)</strong> <strong>Penulis: Pemerhati Masalah Sosial</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=oPZj98jH0KQ
Discussion about this post