<strong>Oleh: Nurhaniu Ode Hamusa, A.M. Keb</strong> Belum setahun sejak logo garuda dengan latar biru peringatan darurat mewarnai jagat maya, lambang itu kembali mengudara dengan latar hitam. Perubahan warna menjadi lebih suram ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan kekhawatiran publik terhadap Tanah Air semakin membuncah. Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus melalukan aksi unjuk rasa bertajuk Indonesia gelap mulai tanggal 17-18 dan dilanjutkannya di Jakarta. Beberapa isu yang diangkat lewat aksi ini termasuk soal kisruh LPG 3 Kg, reformasi Polri, program Makan Siang Bergizi (MBG), pemangkasan anggaran untuk program sosial dan kesejahteraan rakyat, masalah pendidikan, kesehatan, serta lapangan pekerjaan (Tirto, 18-02-2025). Menanggapi aksi ini, Mensesneg Prasetyo Hadi, atas perintah Presiden Prabowo, menemui massa dan berjanji meninjau tuntutan, termasuk evaluasi program MBG, transparansi pajak, serta penolakan revisi UU Minerba dan dwifungsi TNI. Pemerintah dan DPR menyatakan akan mempertimbangkan aspirasi tersebut, sementara aksi ini mencerminkan peran aktif masyarakat dalam mengawal kebijakan demi kesejahteraan bangsa. Gabungan demonstrasi memperlihatkan kekecewaan terhadap program 100 hari merah putih ala rezim Prabowo-Gibran yang memuncak tak kunjung menyelesaikan persoalan yang justru semakin banyak terungkap seperti kasus pagar laut, korupsi, kemiskinan, pengangguran, PHK dll. Sayangnya tuntutan yang ditawarkan sejatinya tidak menyelesaikan masalah hingga ke akarnya bahkan ada yang menawarkan untuk kembali pada demokrasi kerakyatan. Padahal penerapan sistem demokrasilah yang menjadi akar permasalahannya, sehingga khawatir nasib rakyat Indonesia di masa mendatang (Indonesia gelap). Mahasiswa sudah seharusnya melek politik dan kritis, namun juga harus bisa memberikan solusi yang benar dan solusi yang benar hanyalah solusi dari aturan-Nya. Pun mahasiswa seharusnya menjadi agen perubahan dengan mengoreksi penguasa atas spirit amar makruf nahi mungkar dan menyuarakan solusi yang hakiki, karena hanya dengan penerapan sistem yang paripurna yang bersumber dari-Nya meniscayakan masa depan masyarakat gemilang bukan gelap atau suram. Untuk itu, pemuda seharusnya dapat mengawal perubahan ke arah yang lebih baik, jika penguasa melakukan kemungkaran, seperti berbuat zalim, memakan harta rakyat secara batil, tidak memberikan hak-hak rakyat, melalaikan urusan rakyat, meremehkan sebagian kewajiban-kewajibannya, melanggar salah satu hukum syariat, dan bentuk-bentuk kemungkaran lainnya. Maka umat seluruhnya wajib untuk melakukan peringatan dan kritik muhasabah terhadapnya, mengingkarinya, dan berusaha untuk melakukan perubahan, baik secara individu maupun kolektif. Jika umat berdiam diri, membiarkan kemungkaran terus berlangsung, dan tidak melakukan perubahan apa pun terhadap penguasa semacam ini, mereka tentu berdosa. Bentuk pengingkaran dan perubahan terhadap penguasa yang melakukan salah satu kemungkaran adalah dengan metode kritik (muhasabah) secara lisan. Tindakan semacam didasarkan pada hadis dari Ummu Salamah disebutkan Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Kelak akan ada penguasa lalu kalian melakukan amar makruf nahi mungkar. Siapa saja yang melakukan amar makruf maka dia telah bebas (dari bertanggung jawab di hadapan Allah). Siapa saja yang melakukan nahi mungkar maka dia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang rida dan mengikutinya (maka dia tidak akan bebas dan tidak akan selamat).” (HR Muslim). Rasulullah SAW juga telah menjadikan perkara yang benar di hadapan penguasa yang zalim sebagai jihad yang paling utama. Demikian pernyataan beliau ketika menjawab pertanyaan seorang sahabat yang bertanya, “Jihad apa yang paling agung?” Beliau menjawab, “Kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Ibnu Majah dan an-Nasa’i). Memang benar, bahwa dalam kondisi seperti ini, hukum-hukum yang disandarkan pada penguasa akan terbengkalai, kerusakan akan tersebar luas, kehinaan akan merajalela, dekadensi moral akan merata, berbagai interaksi rusak akan terus berlangsung, kemungkaran akan menjadi suatu kebiasaan dan tersebar luas, sementara segala perkara yang makruf akan tersembunyi dan berkurang. Dalam kondisi semacam ini pula, umat Islam akan menjadi kaum yang lemah, wibawa mereka merosot, dan kekuatan mereka berkurang. Mereka akan menjadi singa yang tidak bertaring dan tidak berkuku. Mereka laksana gambar tanpa bukti. Bukankah gambar makanan tidak akan membuat kenyang dan gambar singa tidak akan membuat takut? Dengan demikian, sulit mewujudkan kondisi yang sesuai harapan umat, jika masih banyak celah yang memicu tindakan tersebut. Karena itu, tidakkah umat ini rindu pada atura-Nya yang banyak membawa keberkahan? Sebab aturan terbaik untuk manusia, yakni yang menciptakan manusia, Allah SWT. Wallahu a’lam.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis adalah Freelance Writer Asal Konawe, Sulawesi Tenggara</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/98criF9rzuE?si=QDBT5CBr78JJY5XV
Discussion about this post