Sementara itu, tokoh masyarakat Jompi, Ali Badin Fiihi mengaku, Sungai Jompi berada di dua kelurahan, Mangga Kuning dan Laende. Kondisi Sungai Jompi yang kritis ini perlunya langkah tindak lanjut yang komprehensif dari semua pihak, baik masyarakat dan pemerintah.
Untuk itu, ia mendukung langkah Jaelani untuk menaikan status hutan Jompi menjadi kawasan konservasi. Dengan demikian, pengawasannya akan diambil alih langsung oleh Kementerian Kehutanan.
“Masyarakat di Jompi ini sangat mendukung langkah itu untuk bersama-sama menyelamatkan mata air Jompi ini,” kata Ali.
Sementara itu, tokoh masyarakat lainnya, Nur Kadas menyebut, Jompi ini diberi nama oleh Belanda pada Tahun 1927. Sungai Jompi merupakan satu-satunya mata air di Sulawesi Tenggara yang berada di ibu kota kabupaten.
“Sehingga perlu adanya penyelamatan untuk anak cucu kita ke depan,” tutur Nurq Kadas.
Senada, anggota DPRD Sultra La Ode Marshudi akan menindaklanjuti rencana penaikan status hutan lindung menjadi kawasan konservasi Jompi.
“Setelah dinaikan statusnya, maka setiap daerah aliran sungai wilayah hutan konservasi yang wajib dijaga bersama. Mulai dari bagian Kecamatan Loghia, Kontunaga dan Watopute. Mengenai administrasi penaikan status kawasan, nanti saya akan bertemu dengan Gubernur Sultra. Urusan di Kementerian Kehutanan, nanti ada Bang Jay,” Marshudi menambahkan.
Soroti Masalah Kehutanan di Sultra
Selain berbicara isu Jompi, Jaelani juga turut menyoroti masalah kehutanan di Sulawesi Tenggara yang luasannya terus menurun akibat pertambangan.
Bahkan, beberapa wilayah hutan di pulau kecil, turut dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan industri ekstraktif tersebut.
“Ini juga menjadi catatan saya di DPR RI. Sultra itu terkenal dengan tambang nikelnya. Namun, pertambangan ini juga menyisakan masalah terhadap masa depan hutan kita,” kata Jaelani.
Menurutnya, pemerintah tidak boleh jor-joran menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk kebutuhan industri pertambangan. Sebab, kerusakan lingkungan akibat hilangnya tutupan hutan di Sultra sudah terasa dampaknya.
“Di beberapa daerah yang dulunya aman dari banjir lumpur, sekarang banjirnya cukup parah,” katanya.
Sebagai contoh adalah beberapa pulau kecil yang harusnya tidak boleh ada izin pertambangan, malah akhirnya diterbitkan izin usaha pertambangan (IUP).
“Berdasarkan Undang-Undang Pesisir dan Pulau-pulau kecil kan tambang tidak boleh ada di pulau kecil, tapi faktanya kan ada. Ini harus dipertimbangkan kembali oleh pemerintah tentang izin itu,” kata Jaelani.
Meski Ketua DPW PKB Sultra ini tidak menyebut secara detil pulau kecil yang dimaksud, namun dua pulau kecil yang sementara terancam tambang adalah Pulau Wawonii dan Pulau Kabaena.
Penulis: Yeni Marinda
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post