Sebagai orang Jawa, Soeharto menerapkan filosofi Jawa yang diadopsi dari kisah-kisah pewayangan Mahabharata dan Ramayana. Konsep pengabdian prajurit ABRI disamakan dengan pengabdian seorang ksatria kepada negaranya.
Pengabdian itu disebut sebagi darma yang harus dijalani sebagai bagian dari kewajiban hidup. Dalam tradisi Barat konsep darma diartikan sebagai konsep ‘’right or wrong my country’’, benar atau salah tetap membela negara, karena bela negara adalah bagian dari darma.
Beberapa episode dari Mahabharata diambil sebagai contoh untuk menggambarkan bakti seorang ksatria kepada negara. Dalam perang Bharatayuda antara Kurawa melawan Pandawa terdapat episode ketika sesama saudara harus saling membunuh. Kurawa dan Pandawa berasal dari keturunan yang sama, tetapi kemudian terlibat intrik dan persaingan politik sehingga terjadi permusuhan yang membawa pada peperangan besar.
Dalam sebuah episode, Arjuna yang menjadi panglima Pandawa dipaksa untuk berperang melawan Panglima Kurawa, Adipati Karna, yang tidak lain ialah saudara sepupunya sendiri. Adipati Karna seorang ksatria yang jujur dan lurus. Ia bersedia mati membela Kurawa karena ia hidup dan dibesarkan di negara itu. Ia siap berperang sampai mati untuk menghadapi saudara-saudaranya sendiri dari Pandawa.
Di sisi lain, Arjuna gundah gulana karena tidak tega melawan saudara sepupunya sendiri. Maka Batara Krisna yang menjadi penasihat strategis dan spiritual Pandawa berusaha meyakinkan Arjuna untuk mengutamakan darma daripada saudara. Krisna mendampingi Arjuna ke palagan perang dan menjadi sais kereta perang yang ditumpangi Arjuna.
Dari keyakinan darma yang diajarkan Krisna, Arjuna akhirnya bersedia berperang melawan Adipati Karna dan membunuhnya. Seorang ksatria, kata Krisna, harus setia kepada darmanya kepada negara ketimbang kepentingan pribadi dan keluarga.
Filosofi ini ditanamkan Soeharto kepada prajurit ABRI, supaya mengutamakan darma kepada negara meskipun itu harus dilakukan dengan membunuh saudara sendiri. Filosofi itu membawa rezim Orde Baru berkuasa selama 32 tahun.
Soeharto jatuh oleh gerakan reformasi 1998. Salah satu yang menjadi incaran gerakan reformasi adalah mengebiri ABRI dari peran politik dan mengembalikannya ke barak sebagai tentara profesional. ABRI kembali direorientasi menjadi TNI dan dibuat benar-benar steril dari politik.
Absennya TNI dari kegiatan politik dalam 20 tahun terakhir melahirkan supremasi sipil yang penuh dinamika. Pada era Joko Widodo sekarang supremasi sipil melahirkan koalisi besar pendukung pemerintahan.
Koalisi politik besar ini melakukan koalisi dengan kekuatan bisnis yang sering disebut sebagai oligarki. Rezim Jokowi dianggap tidak memberi ruang yang cukup bagi demokrasi yang dinamis.
Sementara TNI–yang secara historis selalu ikut aktif dalam percaturan politik–dipaksa untuk menepi dari kancah politik nasional. TNI harus menanggung dosa politik akibat keterlibatannya dalam rezim Orde Baru Soeharto selama 32 tahun.
Masyarakat sipil di Indonesia—terutama kalangan liberal—memahami posisi historis TNI dengan perspektif yang berbeda, sehingga kemudian berusaha melepas TNI dari ikatan historis yang sudah melekat sebagai bagian kesejarahan.
Dengan perspektif liberal itu kemudian TNI dikembalikan ke barak dan diharamkan untuk menyentuh ranah politik, sebagaimana yang terjadi di Eropa dan Amerika.
Sejarah tentara Eropa dan Amerika berbeda dengan Indonesia. Masing-masing punya tradisi sejarahnya sendiri. Mengadopsi begitu saja konsep Eropa dan Amerika tentu tidak mudah dan membutuhkan penyesuaian. Kendati demikian, selama era reformasi, TNI telah menunjukkan konsistensinya sebagai tentara profesional yang menjauh dari politik.
Dinamika yang terjadi di tubuh TNI harus dipahami sebagai bagian dari penyesuaian tradisi lama menuju tradisi baru. Dari kacamata eksternal, dinamika hubungan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dengan KSAD Jenderal Dudung Abdurahman terlihat sebagai persaingan politik dan perang bintang di antara elite TNI.
Tetapi, pada akhirnya insiden itu diselesaikan ‘’secara adat TNI’’. Dua jenderal itu menempatkan kepentingan darma di atas kepentingan pribadi. Dirgahayu, TNI.(***)
Penulis: Wakil Ketua Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post