Bukan sekali dua saya menemukan konsep “tak bisa dihubungi” yang jadi dalih para jurnalis muda-bahkan yang sudah senior-saat menulis. Padahal ini sama saja menunjukan kemalasan, serta tidak tangguhnya seorang jurnalis dalam melakukan proses konfirmasi lalu berlindung dibalik kata “tak bisa dihubungi” itu.
Kepala Desa mendadak dituding menyelewengkan dana desa, lalu karena sang pejabat tak bisa ditelepon, dijadikan alasan. Beritanya ditulis dan disebarluaskan. Pejabat di dinas, dituding melakukan praktik manipulasi proyek lalu karena teleponnya tak diangkat, atau ketika ke kantornya, sang pejabat tidak ada, dijadikanlah pembenar untuk menulis.
Ini payah. Bagaimanapun menariknya artikel anda, seseksi apapun isunya, bahkan seekslusif apapun liputanmu, tidak boleh mengabaikan proses konfirmasi itu. Negara ini tidak akan bubar, bila anda menunda menulis dan menerbitkannya di koran atau di portal berita. Percuma mengejar klik bait, sia-sia mencari viewer bila dilakukan dengan cara-cara tak beradab itu.
View this post on Instagram
Lalu apa yang bisa dilakukan? Hanya dengan tiga cara. Pertama, konfirmasi. Kedua, konfirmasi dan ketiga ya konfirmasi. Lakukan proses ini dengan sebenar-benarnya. Tak bisa dihubungi, ya temui. Tak bisa ditemui ya kejar dimana sumbermu bisa ditemukan. Jangan duduk di warkop, menekan keypad Ponsel lalu karena terdengar panggilan tertolak, atau pesan WA-mu hanya tercentang satu jadi alasan untuk menulis “tak bisa dihubungi”.
Saya ingin berbagi pengalaman saat mengikuti uji kompetensi wartawan, delapan tahun lalu. Saya mendapat tugas menghubungi Kapolda Sultra, demi menanyakan sesuatu. Ini relatif mudah karena sang jenderal, mau mengangkat telepon dan memberi penjelasan meski sebelumnya saya tidak mengenalnya secara personal.
Discussion about this post