Tahu apa yang mengganjal di hati saya setelah diskusi bubar saat itu? Saya sedang merisaukan kampung saya, Kabaena. Kami punya bahasa ibu yang disebut sebagai “Hartia Ntokotu’a” atau Bahasa Kabaena. Kekhawatiran bakal jadi bahasa mati bahkan punah mendadak menyeruak. Saya lantas menghubungi beberapa orang yang lumayan peduli dengan hal semacam ini. Bertanya soal kamus Bahasa Tokotu’a.
“Kamus Bahasa Kabaena itu belum ada,” ujar Ilfan Nurdin, kawan saya yang punya banyak pengetahuan soal budaya dan tradisi lisan di Pulau Kabaena kala saya menghubunginya setahun lalu.
Setahunya, hanya Bahasa Moronene yang sudah terdokumentasi baik dalam bentuk kamus. Bahkan sudah jadi pelajaran muatan lokal di sekolah dasar di Bombana.
Dengan segala hormat, saya merasakan betul adanya perbedaan berbagai kata dalam bahasa di Moronene daratan dengan yang kami gunakan di Pulau Kabaena, dalam bahasa sehari-hari. Dalam satu kalimat yang dilisankan saudara-saudara saya di daratan, secara utuh saya memahaminya tapi terasa ada perbedaan saat diucap.
Dr Johannes Elbert, seorang geologis asal Jerman yang sempat mengunjungi Kabaena dan Rumbia di tahun 1909 punya catatan tersendiri soal bahasa dua wilayah ini.
Dalam buku Die Sunda Expedition yang ia tulis dan terbit tahun 1912 mencatat beberapa perbedaan-lebih tepatnya perubahan vocal atau konsonan-dalam diksi dua wilayah ini.
Kata “bawa”, di Moronene disebut “tantio” sementara di Kabaena jadi “tankio”. Kata “jauh” di Rumbia dilisankan “mentara” di Kabaena “mentala”. Itu sebagian yang dicatat Elbert.
Sebenarnya tak perlu jauh-jauh mengkaji catatan Elbert. Saya yang tiga tahun terakhir ini hidup di Rumbia dan sering berinteraksi dengan saudara saya dari Moronene daratan merasakan beberapa perbedaan itu. (Mohon koreksi bila saya keliru menyebut kata).
Untuk meminta orang untuk tidak ribut, di Rumbia itu dilisankan “sie mogora”. Di Kabaena, malah jadinya “sie morobo”. Kata “petila” di Kabaena berarti “sesuatu yang sama atau identik”. Sedangkan di Rumbia, itu berarti saudara dan hanya ditujukan untuk orang.
Kata jangan menangis, di Rumbia diucap “sie mewowo” sedangkan di Kabaena “sie bebera”.
Kata “makan” misalnya, saudara saya di daratan menyebut diksinya sebagai “tewawe”, sementara orang Kabaena menyebut itu “mongka” dengan “a” yang agak panjang. Kata “di sini”, di darat itu dilisankan “na’ai”, sedangkan di Kabaena itu diucap “dirumai atau diceena”.
Merokok misalnya, di Kabaena lazimnya itu diucap “meahu” tapi di daratan Moronene itu diujarkan jadi “molulu”. Tentu banyak lagi kata-kata yang tidak sama. Itu belum bahasa di pertemuan adat pernikahan, biasanya lebih sulit lagi.
Discussion about this post