PENASULTRA.ID, JAKARTA – Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota memberi peluang kepada investor di dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun.
Keputusan Menteri KKP tersebut, menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp12 triliun pada 2024 atau meningkat Rp1 triliun dari tahun 2021.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Front Nelayan Indonesia (FNI) Rusdianto Samawa dalam keterangannya belum lama ini. Menurut dia, kebijakan ini menuai eksersif pada nelayan kecil disepanjang pesisir Indonesia.
“Kebijakan yang tak penuhi rasa keadilan. Nelayan seringkali dijadikan eksploitasi dari hal terkecil hingga penarikan PNBP yang sangat merugikan dapur rumah tangga nelayan,” ucap Rusdianto.
Sementara eksploitasi penuh (fully exploited) dan eksploitasi berlebih (over exploited), kata Rusdianto telah berlangsung lama. Hal ini menunjukan pemerintah abaikan aspek lingkungan dan sustainability sumber daya perikanan.
“Selama izin PIT itu diberikan kepada perusahaan dalam dan luar negeri. Selama itu pula penangkapan ikan di Indonesia mengabaikan aspek keadilan. Eksploitasi ini bentuk kezaliman yang nyata terhadap kedaulatan perikanan. Membuat nelayan menjerit, harus bersaing dengan seluruh perusahaan-perusahaan oligarki dalam dan luar negeri yang mendapat izin tersebut,” tekan Rusdianto.
Keputusan Menteri KKP itu, lanjut Rusdianto, tidak bersifat keberlanjutan, lebih pada kezaliman atas eksploitasi di seluruh kelompok sumber daya ikan seperti pelagis besar, udang penaeid, lobster dan rajungan di semua WPP RI.
Discussion about this post