Dalam upaya mengatasi bencana banjir, lanjut Bob, diperlukan juga strategi struktural yaitu menata perilaku air untuk mitigasi bencana meliputi antara lain pembangunan tampungan air seperti waduk, embung, kolam retensi, sumur resapan, dan lainnya.
Kemudian peningkatan kapasitas sungai, membagi air sungai, meningkatkan kecepatan air sungai, pengendalian sedimentasi, penataan drainase, dan mencegah air laut masuk ke darat.
Contoh nyata pembangunan infrastruktur untuk mengelola air dan mitigasi bencana banjir antara lain normalisasi Sungai Ciliwung, kolam retensi yang dipadukan dengan tanggul-tanggul di Cilincing Jakarta Utara, dan pompa Ancol Sentiong.
Adapun program pengendalian daya rusak air oleh Kementerian PUPR telah dilakukan pembangunan infrastruktur pengendali banjir dan pengamanan pantai dengan total panjang 1.901 Km, dan bangunan pengendali sedimen dan lahar sebanyak 423 buah yang tersebar di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data World Risk Report 2023, Indonesia menempati urutan ke-2 sebagai negara paling berisiko tinggi terhadap bencana, dengan World Risk Index (WRI) mencapai 43.50.
Hal ini dinilai berdasarkan faktor keterpaparan (exposure) terhadap bencana akibat infrastruktur yang tidak berketahanan iklim dan kerentanan (vulnerability) akibat kurang memadainya manajemen pengurangan risiko bencana.
Sementara merujuk pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah kejadian banjir selama kurun waktu 2019-2021 mengalami peningkatan. Sementara sejak 2022 jumlah kejadian tersebut justru berkurang di tengah fenomena El Nina yang meningkatkan curah hujan.
Discussion about this post