Sudah jamak diketahui, dipahami bahkan diyakini dalam kultur masyarakat bahwa seorang perempuan yang juga seorang istri dan ibu memiliki kuasa yang lebih terbatas dibanding laki-laki. Artinya, dalam relasi personal suami istri ketimpangan atas relasi kuasa (power inbalance) itu terjadi dan berdampak.
Sebagai sosok yang memiliki keterbatasan kuasa, perempuan cenderung tidak memiliki banyak alternatif maupun pilihan-pilihan menentukan tindakan atau mengambil keputusan berkaitan dengan rumah tangganya bahkan dirinya.
Berbeda dengan laki-laki yang sejak
dilahirkan sudah dikonstruksikan sebagai pemegang previlege dan kuasa yang lebih besar, akan memiliki lebih banyak pilihan bahkan dapat menentukan apa yang dapat dipilih oleh istri dan anak-anaknya.
Pemegang kuasa dalam keluarga itu sangat berisiko menyalahgunakan
kuasanya untuk bebas melakukan apa saja termasuk kekerasan. Melihat pada konstruksi tersebut maka peristiwa-peristiwa sebelum terjadinya (pre factum) dugaan KDRT itu harus juga dilihat secara utuh dan cermat.
Pengalaman-pengalaman dari pihak-pihak harus menjadi dasar dari proses pemeriksaan lebih lanjut. Atas dasar itu sangat mungkin dalam hal ini perempuan/istri adalah subyek yang terdampak dari ketimpangan relasi kuasa yang berujung pada kekerasan.
Posisi Rentan Menjadi Korban
Variabel kedua dalam optik gender untuk memahami kasus ini terkait dengan posisi (position) perempuan/istri dalam rumah tangga. Relasi intim dalam rumah tangga yang secara kultural dan faktual terbangun berdasarkan relasi kuasa yang timpang, berdampak pada posisi yang tidak setara.
Kesetaraan ini merupakan suatu konsep sekaligus nilai yang menekankan pada keadilan. Secara konteks hal tersebut akan tergambar pada kedudukan, fungsi dan relasi antara para pihak (suami-istri) dalam rumah tangga tersebut.
Discussion about this post