Doni juga mengilas sejarah Satgas Rajawali. Anggotanya terdiri atas Kopassus, Marinir, dan Infanteri TNI-AD. Sebelum berangkat ke medan operasi, semua dikonsolidasikan dulu dalam satu manajemen terintegrasi.
Belajar dulu dari anggota OPM/GPK yang telah sadar. Mereka dijadikan narasumber untuk memberi informasi bagaimana latihan, cara makan, cara berhubungan dengan masyarakat, dan lain-lain.
“Waktu itu saya bilang ke pak Komar (Mayjen TNI Purn Komaruddin Simanjuntak, Sekjen PP PPAD-pen). Bahwa kelompok separatis bukan sembunyi di hutan atau di gunung, tapi sembunyi di bawah lidah rakyat. Kita harus melawan dengan kemampuan tempur dan teritorial. Kalau kita punya kemampuan teritorial yang baik, rakyat dengan mudah akan membuka lidahnya. Dalam arti buka mulut memberi informasi apa saja yang kita butuhkan,” kata Doni Monardo.
Logika sederhana, di atas (gunung, hutan) sulit menemukan makanan. Karena itu, kelompok separatis atau KKB atau apa pun istilahnya, pasti tetap bersandar kepada masyarakat non-combatan. Cepat atau lambat mereka akan masuk kampung.
“Jadi, ini meliputi kombinasi perang intelijen, gerilya, teritori, dan IT sekaligus. Dengan begitu, korban bisa diminimalisir dan kemampuan melumpuhkan semakin kuat,” tambahnya.
Dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PPAD, Letjen Purn Doni Monardo menyampaikan kesiapannya membantu juniornya.
“Meski kami sudah pensiun tapi selalu siap jika diperlukan. Kami tidak tega bahkan miris mendengar berita korban di pihak TNI atau Polri,” tegas Doni.
Doni pun membagi pengalaman yang bisa dipetik sebagai pelajaran. Salah satunya adalah bagaimana mengubah status lawan menjadi kawan. Pengalaman di Timor Timur dan Papua ia jadikan sebagai contoh kasus.
Betapa pasca kematian tokoh OPM, Theys Eluay November 2001, situasi Papua memanas. Doni Monardo tahun itu masih berpangkat Letkol dan menjabat Dandenma Paspampres. Tiga-belas tahun kemudian, saat Doni Monardo memuncaki jabatan Danjen Kopassus, ia melakukan pendekatan dengan keluarga Theys.
Pada ulang tahun Kopassus ke-63 tahun 2015, Doni Monardo mengundang Boy Eluay, putra pertama Theys Eluay. Doni ingat dua perwiranya yakni Letkol Richard Tampubolon (sekarang Mayjen–Pangdam Pattimura) dan Letkol Joe Sembiring ditugaskan mengawal misi undangan perdamaian itu.
Doni memberi jaket Komando kehormatan kepada Boy Eluay dan dianugerahi “keluarga Baret Merah”. Yang terjadi kemudian adalah sikap saling memaafkan dan melupakan serta menerima masa lalu sebagai sebuah takdir. Deklarasi damai itu bahkan disaksikan Lily Wahid (Hj. Lili Chodidjah Wahid), adik kandung mendiang Presiden Gus Dur.
Saat ini, Yanto Eluay (adik Boy Eluay Almarhum) bahkan berada di garis terdepan dalam membela NKRI. Sikapnya tegas dalam mendukung NKRI, dan tegas pula dalam mengecam aksi KKB sebagai “mencoreng masyarakat adat Papua”. Yanto adalah pewaris posisi Ondofolo (ketua suku) Kampung Sereh, Sentani, Papua.
“Posisi kepala suku sangat kuat di Papua. Ini harus diperhatikan,” pesannya kepada Iwan.
Hubungan baik itu bahkan tetap dijaga hingga hari ini.
“Setiap mereka ke ibukota, harus ada pendampingan dari keluarga besar Baret Merah. Mereka sudah menjadi keluarga besar Baret Merah,” kata Doni seraya menambahkan, “jalinan yang tak boleh putus itu bertujuan untuk mengurangi beban konflik di waktu-waktu yang akan datang.”
Iwan diminta meletakkan fondasi di Satuan Sandi Yudha atau yang lain. Agar dibentuk tim yang bekerja tidak saja saat mereka di Papua atau medan operasi lain. Tugas mereka merajut hubungan dengan para tokoh yang semula berseteru, lalu berbalik menjadi satu. Dulu lawan, sekarang kawan.
Bukan saja di Papua, potensi konflik itu boleh jadi masih ada di tempat tempat lain. Nah, peran tim tersebut menjadi sangat strategis.
“Tujuannya untuk menurunkan risiko konflik di masa sekarang dan masa datang,” tegas Doni.
Milik Bersama
Pesan penting lain dari Doni adalah, jangan membuat kesan seolah-olah lebih menonjol dibanding yang lain. Jangan banding-bandingkan Kopassus dengan satuan mana pun. Kopassus harus bisa menjadi milik bersama. Bisa menjadi pasukan yang dicintai semua.
Saat Doni beracara di Hawai, Amerika Serikat, ia sempat didatangi seorang komandan pasukan khusus dari sebuah negara. Ia bertanya bagaimana strategi mengubah lawan menjadi kawan.
Kepada Iwan, Doni mengingatkan kembali serta menekankan pentingnya menangkap musuh atau menaklukkan musuh tanpa keluar sebutir peluru pun.
“Saya katakan, berbanggalah kalau bisa menaklukkan musuh tanpa letusan senapan,” ungkap Doni.
Buku Aceh
Ada satu peristiwa yang sangat mengesankan bagi Doni dan Iwan saat bertugas di Aceh.
“Waktu itu Mayor Inf Iwan Setiawan adalah Kasi Ops Satgas Aceh. Saat akan mengakhiri tugas, dia telepon saya, ‘bang izin saya menghadap’,” tutur Doni mengenang.
Iwan pun menghadap Doni. Rupanya, ia hendak menyerahkan sebuah buku sambil mengatakan, “Mungkin buku ini berguna bagi abang.” Mata Doni terbelalak. Buku yang ia terima berisi semua nama dan nomor telepon, baik di Indonesia atau di luar negeri, yang erat kaitannya dengan “operasi Aceh”.
“Berkat buku dari Iwan itu saya bisa membongkar jaringan Aceh termasuk yang di luar negeri. Luar biasa. Rupanya dia mendapat dokumen itu, dan selama ini dia simpan. Begitu mau pulang, baru diserahkan kepada saya. Wah, terima kasih Wan… bukumu sangat berharga buat saya,” kata Doni kepada Iwan.
Iwan menjawab cepat, “Saya serahkan kepada orang yang tepat.”
Purna silaturahmi, Iwan sempat meminta Wadanjen Kopassus Brigjen TNI Deddy Suryadi yang ikut mendampingi untuk membuat prasasti dari kalimat yang ada di dekat sosok Jenderal Widjojo Soejono. Tulisan itu berbunyi, “Bayangkari negara baru berhenti berjuang jika tidak lagi mampu mendengar tembakan salvo di samping telinga.”
Dirgahayu Komando Pasukan Khusus ke 70 tanggal 16 April 2022.(***)
Penulis adalah wartawan senior, Tim Bidang Komunikasi PPAD (Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat), aktif menulis buku dan Ketua Yayasan “Kita Jaga Alam”
Catatan ini telah tayang sebelumnya dengan link: https://lintasgayo.co/2022/04/15/menyambut-hut-komando-pasukan-khusus-ke-70-nostalgia-2-danjen-kopaassus/
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post