Bila aspirasi masyarakat untuk tidak lagi dibebani kewajiban melaporkan SPT dapat dipenuhi, pertanyaan selanjutnya dapat dikemukakan disini: apakah seluruh masyarakat khususnya wajib pajak ingin kembali ke sistem perpajakan 40 tahun silam?
Sepertinya kalau pertanyaan ini diajukan, semua wajib pajak termasuk penulis akan spontan menyampaikan jawaban yang hampir pasti sama: tidak!.
Penting dipahami bahwa sebelum pemerintah melakukan reformasi perpajakan pada akhir tahun 1983, sistem administrasi pajak yang berlaku di Indonesia adalah official assessment. Dalam sistem ini, aparat pajak memiliki kewenangan penuh menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak.
Petugas pajak mendatangi tempat atau lokasi usaha dan domisili wajib pajak, melakukan perhitungan sepihak dengan metode penilaian tertentu atau bersifat estimasi, lalu menetapkan besaran pajak yang harus dibayar wajib pajak. Dalam sistem official assessment, aparat pajak dalam posisi sangat dominan dan aktif, sementara wajib pajak dalam posisi pasif.
Dalam praktek, sistem official assessment ini terbukti mengandung banyak kelemahan dan kekurangan serta membuka peluang bagi aparat pajak untuk menetapkan besaran pajak terutang secara sepihak. Wajib pajak cenderung, bahkan mungkin sama sekali tidak memiliki ruang dan kesempatan untuk menyanggah dan menolak besaran pajak yang ditetapkan oleh aparat pajak.
Tidak jarang, isu keadilan bagi wajib pajak sangat sering mengemuka dalam sistem perpajakan ini. Hal inilah yang menjadi latar belakang dan alasan pemerintah melakukan reformasi perpajakan pada akhir tahun 1983 (mulai berlaku tahun 1984), di mana sistem official assessment yang memberikan kewenangan luar biasa kepada aparat pajak ini kemudian diubah menjadi sistem self assessment.
Dalam sistem self assessment, aparat pajak kemudian berubah menjadi pasif (tidak lagi berada pada posisi sangat dominan) dan sebaliknya wajib pajak menjadi sangat aktif.
Dalam sistem ini, wajib pajak memiliki kewenangan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain itu, wajib pajak memiliki kewajiban melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan telah dibayar melalui penyampaian SPT, baik SPT Masa maupun Tahunan.
Undang-undang perpajakan Indonesia yang dibuat dengan prinsip self assessment ini mewajibkan aparat pajak harus percaya sepenuhnya bahwa SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah benar, jelas dan lengkap. Sistem self assessment lebih memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para wajib pajak.
Undang-undang pajak mengatur bahwa SPT yang sudah disampaikan oleh wajib pajak adalah benar, sampai penelitian berdasarkan data dan atau informasi lain yang tersedia pada sistem informasi DJP menunjukkan sebaliknya.
Untuk menyatakan SPT tidak benar, aparat pajak tidak boleh sembarangan dan harus melalui proses dan tahapan yang sudah ditentukan oleh UU perpajakan.
Discussion about this post