Untuk mengimplementasikan konsep Boschafdeling di lapangan, lahirlah konsep cap centra (pusat tebang) dan petak. Cap centra merupakan kawasan hutan yang dibebani pekerjaan teknik kehutanan meliputi pekerjaan penanaman, pemeliharaan/penjarangan, pengamanan, dan penebangan dalam jangka waktu tiap tahun secara kontinyu, tanpa dibebani pekerjaan pembukuan keuangan, kepegawaian, dan pemasaran hasil kayu. Saat ini cap sentra identik dengan Resort Pengelolaan Hutan (RPH).
Sementara petak adalah bagian yang terkecil dari bagian hutan yang berfungsi sebagai kesatuan manajemen dan kesatuan administrasi (Purwanto dan Yuwono, 2005).
Petak sebagai unit manajemen mengandung maksud bahwa sebuah wadah yang menjadi pusat pelaksanaan kegiatan teknik kehutanan langsung yang berkaitan dengan kelestarian hutan dan perusahaan. Petak sebagai unit administrasi mengandung maksud bahwa adanya pencatatan sebagai konsekuensi dari semua kegiatan teknik kehutanan yang dilaksanakan.
Management Unit
Dalam konsep organisasi dan penataan, management unit dipengaruhi beberapa faktor, yaitu (Simon, 2004) : 1) Tingkat Tegakan (Stand Level), artinya setiap kegiatan teknik kehutanan (penanaman, penjarangan, pemanenan) tidak mengalami kerugian. Diterjemahkan dalam konsep RPH sebagai Cap Sentra/Pusat Tebang, yaitu pekerjaan teknik kehutanan berjalan kontinyu setiap tahun.
2) Tingkat keuntungan finansial organisasi pengelola dalam hal ini Houtvesterij, yang menjadi kriteria dalam pembagian Houtvesterij adalah : a) Spain of control (jenjang pengawasan), dimana standar kemampuan pengawasan, satu atasan dianggap mampu mengawasi 4-6 bawahan. Karena sektor kehutanan memiliki wilayah cukup luas, maka diambil batas bawah, sehingga umumnya 4 (empat) RPH digabung menjadi satu dipimpin oleh seorang Opsiener/Bosch Architec, dan 2-4 Opsiener/Bosch Architec digabung menjadi satu Bagian Hutan.
b) Kondisi potensi standing stock (Fenomena lapangan), dimana selain spain of control, dalam penentuan Houtvesterij dipengaruhi oleh kondisi kawasan hutan tersebut termasuk daerah produktif atau tak produktif. Contoh, Ngandong : 1 Houtvesterij terdiri dari 1 Bosch Architek, 1 Bosch Afdeling; Getas : 1 Houtvesterij terdiri dari 1 Bosch Architek, 1 Bosch Afdeling; Kedunggalar : 1 Houtvesterij terdiri dari 2 Bosch Architek.
c) Overhead Cost (fixed & variable cost), contoh di hutan Kedunggalar : 1 Houtvesterij terdiri dari 2 Bosch Architek (Watutinatah & Sonde), karena meskipun daerahnya produktif tetapi karena berdekatan dengan permukiman, maka agak rawan keamanan hutannya sehingga digabung dalam 1 Houtvesterij, untuk menghemat overhead cost.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka KPH yang terbentuk sekarang ini, semestinya ruang lingkup kegiatannya tidak saja melakukan rehabilitasi/reklamasi lahan dari adanya berbagai kerusakan sebagai dampak kegiatan perizinan kegiatan non kehutanan yang diberikan ataupun akibat adanya perambahan dan pembalakan liar. Akan tetapi, jauh lebih daripada itu, sudah melakukan pengaturan kekekalan perusahaan (keuntungan secara finansial).
Oleh karena itu, KPH di luar Jawa berada dalam pengorganisasian Badan Hukum Milik Daerah (BHMD) dalam hal ini yang membidaninya adalah Perusahaan Hutan Daerah (Perhutanda).
Selain itu, pemerintah pusat mestinya memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah untuk merencanakan kegiatan pembangunan hutan sendiri yang tidak bersifat Top down planning (perencanaan instruktif) akan tetapi lebih bersifat bottom up planning (perencanaan Insentif) yang dielaborasi dalam articulative planning (perencanaan artikulatif).
Perencanaan intensif adalah bentuk perencanaan yang melibatkan suatu sistem insentif dan perangsang yang menuju ke arah tertentu dan menciptakan mekanisme yang menguntungkan serta diinginkan oleh unit-unit ekonomi dengan memberikan kewenangan lebih luas kepada tenaga perencana pada level bawah untuk menyusun rencana kegiatannya.
Adapun perencanaan artikulatif merupakan perkembangan lebih lanjut dari model perencanaan insentif. Perencanaan artikulatif berupaya untuk mengartikulasikan keinginan dari seluruh pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan, dimana bercirikan sebagai berikut : a) menjangkau kepentingan masyarakat dalam arti luas; b) perencanaan harus dapat mengantisipasi kepentingan sekarang dan jangka panjang, c) perencanaan hutan harus dapat memaksimumkan produktifitas kawasan hutan, baik dipandang dari aspek ekonomi maupun lingkungan hidup.
Selanjutnya pegawai KPH dalam lingkup Perhutanda tetap berasal dari pegawai kehutanan yang profesional yakni PNS maupun Non PNS (terikat kontrak).
Gaji pegawai KPH diatur lebih lanjut sesuai dengan kepangkatan/jabatan, lama bekerja, dan bonus dari keuntungan perusahaan. Adapun pembagian keuntungan dari pendapatan KPH sebagai perumpamaan adalah 80 % untuk daerah dan 20 % untuk pusat. Kemudian dari 80 % tersebut, dapat dibagi lagi 50 % untuk KPH dan 30 % untuk pendapatan asli daerah (PAD).
Berkaitan dengan hirarki organisasi, Perhutanda sendiri tidak bertanggungjawab langsung kepada pimpinan daerah (Gubernur dan Bupati), akan tetapi kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jadi pimpinan daerah sebatas tembusan saja.
Dengan demikian, diharapkan KPH mampu berjalan efektif yang mandiri jauh dari intervensi, sehingga dapat melakukan pengelolaan hutan secara lebih komprehensif mengarah pada kelestarian lingkungan, menguntungkan secara ekonomi, dan dapat diterima serta mensejahterakan masyarakat.(***)
Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Minat Manajemen Hutan Program Studi Ilmu Pertanian Pascasarjana Universitas Halu Oleo
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post