Dikatakannya, KPU saat itu tidak melakukan proses pengecekan terkait perubahan nama tersebut, padahal berdasarkan surat ketetapan KPU proses perubahan nama ini ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan.
Lebih lanjut Syafrani, dalam SK penetapan calon, pemohon (RAPI) pada saat itu ditetapkan secara berbeda waktunya dengan pihak terkait. Pihak terkait ditetapkan beberapa hari sebelumnya yaitu pada 23 September 2020, sementara pemohon ditetapkan pada 1 Oktober 2020 karena alasan pemohon waktu itu diduga terpapar Covid-19.
Karena adanya perbedaan jadwal itu, maka secara hukum pemohon tidak bisa mengajukan sengketa pemilihan ke Bawaslu dalam rangka meminta pembatalan SK KPU terkait penetapan pihak terkait.
“Hal ini didasarkan karena perbedaan waktu yang kedua berdasarkan pasal 3 peraturan Mahkamah Agung (MA) nomor 11 tahun 2016 dimana dalam pasal tersebut disebutkan yang punya legal standing hanyalah paslon bukan bakal calon (Balon),” beber Syafrani.
“Nah karena pemohon saat itu belum berstatus sebagai Paslon, maka hak pemohon untuk dapat mengajukan gugatan sengketa pemilihan ini, yang mana batasannya hanya tiga hari setelah SK termohon ditetapkan tidak dapat dilakukan,” imbuhnya.
Yang menjadi kejanggalan terkait fakta-fakta tersebut, sambung Syafrani, Bawaslu Muna tidak melakukan tindakan inisiatif untuk melakukan kroscek dan juga membaca dokumen hukum terkait putusan pengadilan yang muncul satu hari setelah SK penetapan pihak terkait oleh KPU.
“Oleh karena itu kami menduga bahwa pihak penyelenggara termohon (KPU) dan Bawaslu sudah tidak bersikap netral lagi dalam proses ini karena tidak melakukan tindakan-tindakan antisipatif dan inisiasi terhadap pelanggaran yang terjadi sejak awal,” tudingnya.
Akibat pelanggaran yang terjadi sejak awal dan pemohon tidak memiliki kesempatan yang diberikan secara hukum untuk mengajukan pembatalan pada akhirnya Pilkada di Muna berlanjut dengan hasil pemohon kalah dari pihak terkait.
Discussion about this post