“Selain itu saya juga bekerja sebagai tukang atu buruh di perusahaan percetakan batu merah di Desa Lianosa milik bapak La Nia (Almarhum),” kata Muslim baru-baru ini.
Muslim mengisahkan, sepekan menjelang pelaksanaan Ujian Belajar Tahap Akhir (EBTA) SMP, tepatnya Kamis sekitar pukul 12.00 Wita di tahun 1995, ayahnya meninggal dunia akibat sakit yang di derita selama kurang lebih dua tahun dengan meninggalkan seorang istri dan delapan anak.
Namun kepergian sang ayah ditengah-tengah mereka, tak membuat Muslim kecil putus asah dan berlarut-larut dalam kesedihan. Peristiwa memilukan itu menjadi cambuk untuk dirinya terus belajar dan bekerja selayaknya anak-anak di pedesaan lainnnya.
“Saat kepergian ayah, disitulah mulai muncul kesadaran dan kedewasaan, kalau saya tidak berubah maka kedepan mau jadi apa, bagaimana caranya untuk bisa bangkit dan mengangkat derajat keluarga yang kurang memiliki nilai di mata masyarakat. Maka saat itu seketika lahir sebuah keputusan, saya harus sekolah setinggi-tingginya, karena hanya jalan itu yang bisa merubah segalanya dan bisa mengangkat derajat keluarga,” beber Muslim
“Banyak suka duka semasa almarhum ayah masih hidup. Saat ini kalau aku mengingat semua itu perasaan sedih dan sedikit ada rasa menyesal,” tambahnya.
Muslim membuktikan dan mewujudkan apa yang diikrarkannya kala itu, bahwa seorang anak yang tumbuh dan ditinggalkan seorang ayah di tengah kesulitan, mampu sukses dan bersaing.
Discussion about this post