<span style="font-size: 17px;"><strong>PENASULTRA.ID, KONAWE SELATAN</strong> - Lulo Ngganda, tradisi masyarakat di Desa Benua, Kecamatan Benua, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) merupakan warisan budaya turun temurun leluhur suku Tolaki. </span> <span style="font-size: 17px;">Lulo berarti goyang dan Ngganda berasal dari kata kanda, sehingga Lulo Ngganda artinya goyang lulo yang diancang-ancang ke atas sambil mengikuti irama gendang.</span> <span style="font-size: 17px;">Lulo Ngganda dilaksanakan setahun sekali sebagai upacara pesta tahunan syukuran panen dengan harapan di tahun berikutnya akan menghasilkan panen yang lebih banyak lagi.</span> <span style="font-size: 17px;">Kegiatan Lulo Ngganda kini diabadikan melalui festival budaya setiap tahun yang melibatkan pemerintah dan masyarakat Desa Benua Konsel.</span> <span style="font-size: 17px;">Masyarakat bersama tokoh adat di wilayah desa Benua secara turun temurun terus menjaga tradisi Lulo Ngganda. Sehingga Benua ini disebut sebagai desa wisata dan menjadi pusat perkembangan tradisi Lulo Ngganda.</span> <span style="font-size: 17px;">Komitmen dalam mendukung pelestarian tradisi ini, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) bersama warga setempat kembali menggelar Festival Lulo Ngganda di Desa Benua. Festival Lulo Ngganda ini dibuka oleh Bupati Surunuddin Dangga yang diwakili oleh Asisten I, Amran Aras pada Senin 16 Desember 2024.</span> <span style="font-size: 17px;">Dari festival ini setidaknya tidak sekedar menjadi tradisi semata, namun juga berfungsi sebagai objek destinasi wisata edukasi untuk pelajar, pemuda, dan masyarakat umum.</span> <span style="font-size: 17px;">“Tentu pemerintah berharap kegiatan ini akan terus dilestarikan,sehingga menguatkan identitas daerah serta membina generasi muda. Selain itu juga diharapkan dapat menjadi trigger atau pemicu bagi desa-desa lain di Konsel memanfaatkan potensi yang dimiliki,” kata Amran Aras.</span> <span style="font-size: 17px;">Sementara itu, Tokoh Adat Benua, Nasrudin Bende mengatakan, Lulo Ngganda memiliki tujuh macam jenis gerakan, namun kini tinggal lima jenis dan tradisi yang sering digunakan di Benua hanya tiga jenis.</span> <span style="font-size: 17px;">Lima jenis lulo tersebut yakni Lulo Ngganda Titiisu, adalah dewa padi yang merujuk kepada burung Titiisu sejenis burung puyuh yang hidup di tengah-tengah padi saat musim padi hingga menjelang panen padi.</span> <span style="font-size: 17px;">Kemudian Lulo Ngganda Kolialiangako, adalah lulo saat kegiatan membuka hutan dimana hutan lebat dengan pepohonan kayu besar jadi kolialiangako adalah melewati kayu-kayu besa.</span> <span style="font-size: 17px;">"Lalu Lulo Ngganda ke tiga yakni Polerusi yang berarti jika bekerja keras maka akan mendapatkan hasil yang melimpah. Sedangkan Keempat Lulo Ngganda Watolengga dan Kelima Lulo Ngganda Leseahoa yang sudah tidak digunakan karena tidak ada yang tau bagaimana prosesinya," tutur Nasrudin.</span> <span style="font-size: 17px;">Lulo Ngganda merupakan tradisi yang muncul dari percampuran antara kepercayaan asli orang Tolaki terhadap Sangia (Dewa/Dewi) khususnya kepada Dewi Padi yang disebut dengan Sanggoleo Mbae dalam agama Islam.</span> <span style="font-size: 17px;">Awalnya, Lulo Ngganda menggunakan gendang-gendang tanah, kemudian berubah menjadi gendang yang dasarnya dari pelepah daun dan hingga sekarang menggunakan gendang kayu yang bernama poli’o. </span> <span style="font-size: 17px;">Pada zaman dahulu Lulo Ngganda ini dilaksanakan siang dan malam hari secara terus menerus di bawah sinar bulan.</span> <span style="font-size: 17px;">Ritual diadakan antara akhir September atau Oktober, karena panen yang telah selesai di Agustus dan September. Kemudian pembukaan ladang berikutnya akan dilaksanakan pada bulan november tepat setelah Lulo Ngganda selesai dilakukan. </span> <span style="font-size: 17px;">Prosesi ini dilakukan selama tiga malam, yakni malam pertama adalah malam ke-13 bulan di langit atau orang Tolaki menyebutnya Tombaralenggea, malam kedua disebut Matamolambu dan malam ketiga adalah Mataumehe atau bulan purnama. Lulo akan dilaksanakan pada malam hari sejak matahari terbenam hingga tengah malam. </span> <span style="font-size: 17px;">Hari pertama adalah prosesi diturunkannya kanda (sejenis tambur) pada sore hari menjelang matahari terbenam. Prosesi Lulo Nggada dimulai dengan berdoa kepada tuhan terkait harapan akan panen di tahun berikutnya yang akan dipimpin oleh Mbusehe. Malam kedua dan malam ketiga, dengan jenis gerakan lulo akan silih berganti ditarikan.</span> <span style="font-size: 17px;">Setelah tiga malam melakukan Lolongganda, selanjutnya adalah puncak dari ritual ini yaitu akan dilakukan Mosehe (upacara pensucian) sebagai upacara syukuran atas hasil panen melimpah yang didapat di tahun ini sekaligus membuang kesalahan yang kita perbuat di tahun-tahun lalu dan juga dengan maksud agar tanaman yang tidak menguntungkan di tahun-tahun lalu kita ganti dengan tanaman baru dengan harapan akan memberikan hasil panen terbaik. </span> <span style="font-size: 17px;">Pada hari ke empat tersebut akan diturunkan Kanda dari rumah di pagi hari pada pukul 06.30 dilanjutkan dengan ritual Mosehe dan kemudian dilanjutkan dengan berbagai kesenian dan olahraga tradisional. </span> <span style="font-size: 17px;">Kesenian yang ditampilkan adalah Ore-ore nggae atau Ore-ore nggawuna atau harmonika tangan yang terbuat dari bambu, Wuwuho yakni sejenis seruling dan Modinggu yakni menumbuk padi di di lesung secara berdiri (Wohu tundoro) dengan menggunaka alu. Sedangkan olahraga tradisionalnya adalah Mehule atau bermain gasing, Kandau atau pencak silat, Metinggo atau egrang dan Mebiti atau adu betis. </span> <span style="font-size: 17px;">Setelah seluruh rangkaian acara ini selesai, kemudian dilaksanakan doa syukur dan diakhiri dengan makan bersama. </span> <strong><span style="font-size: 17px;">Penulis: Yeni Marinda</span></strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/fDDkzjn348g?si=H8HY8Hr7ho9kaVqi
Discussion about this post