Sebagaimana masyarakat pedalaman Jawa pada umumnya, warga pedesaan Tulungagung kental dengan praktik spritualisme Jawa. Islam adalah agama mayoritas yang dianut warga dengan tetap menjalankan ritual mistisisme Jawa dan praktik-praktik kejawen peninggalan Hindu, sehingga melahirkan varian Islam.
Latar belakang budaya itu menjadi identitas Margiono yang kuat. Dengan latar belakang budaya itu Margiono mulai menyusuri karirnya. Teman-temannya menyebut Margiono dengan panggilan ‘’Emge’’ dari inisial namanya ‘’m-g’’. Inisial itu dipakainya ketika mengawali karirnya sebagai wartawan Jawa Pos di awal 1980-an. Nama itu kemudian melekat kepada Margiono dan membawa berkah dalam karirnya jurnalistiknya yang panjang.
Margiono adalah generasi rekrutmen pertama Jawa Pos pasca diambil alih oleh Tempo dan dipimpin oleh Dahlan Iskan. Selepas belajar ilmu pendampingan sosial di perguruan tinggi Margiono diterima di Jawa Pos bersama-sama dengan Solihin Hidayat dan Mohammad Siradj. Trio ini kemudian berkembang menjadi calon-calon pimpinan Jawa Pos di masa depan.
Pada masa itu Jawa Pos masih berkantor di sebuah bangunan tua di Jl Kembang Jepun, sebuah kawasan pecinan di Surabaya Utara. Generasi Margiono dan kawan-kawan disebut sebagai generasi Kembang Jepun yang menjadi pioner awal kemajuan Jawa Pos.
Margiono adalah salah satu saksi dan pelaku sejarah perkembangan Jawa Pos yang fenomenal. Dari sebuah gedung tua persis di seberang Jembatan Merah yang bersejarah, Jawa Pos berkembang menjadi konglomerasi media yang menjalar ke seluruh antero Indonesia.
Secara umum periodesasi konglomerasi Jawa Pos bisa dibagi menjadi tiga, periode Kembang Jepun, periode Karah Agung, dan periode Graha Pena. Kembang Jepun adalah periode awal Jawa Pos ketika masih berada pada fase ‘’komodifikasi awal’’. Ketika itu core bisnis Jawa Pos adalah melakukan komodifikasi dengan ‘’menjual berita’’.
Komodifikasi adalah proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar. Berita adalah sesuatu yang punya nilai guna dan bisa didapat secara percuma. Tetapi kemudian oleh media berita dijadikan sebagai komoditi yang mempunyai nilai tukar di pasar, yang bisa dijual kepada pembaca maupun pemasang iklan.
Periode Karah Agung mulai 1990 menjadi titik perkembangan konglomerasi Jawa Pos. Pada masa itu Jawa Pos hijrah dari Kembang Jepun ke Karah Agung. Jawa Pos mulai memasuki fase ‘’spasialisasi’’ dengan melakukan ekspansi ke berbagai daerah di Indonesia, seiring dengan munculnya teknologi cetak jarak jauh.
Spasialiasi adalah fase ketika ruang dan waktu sudah bisa ditembus melalui teknologi. Saat itu Jawa Pos mengembangkan konglomerasi ke berbagai wilayah dengan melakukan kerja sama dengan berbagai media lokal.
Fase ini berlangsung sampai dengan 1998, ketika terjadi reformasi politik yang membawa kebebasan bagi media untuk berkembang seluas-luasnya. Fase kebebasan pers itu muncul bersamaan dengan fase Graha Pena. Ketika itu Jawa Pos membangun office building 21 lantai dan menjadi salah satu lanskap Kota Surabaya. Jawa Pos menjadikan Graha Pena sebagai head quarter untuk mengembangkan konglomerasi ke seluruh Indonesia.
Itulah fase ‘’strukturasi’’ fase kematangan bagi Jawa Pos. Dalam sepuluh tahun sejak era Graha Pena Jawa Pos menjadi kekuatan konglomerasi media nasional terbesar. Pada periode itulah Jawa Pos memasuki fase strukturasi karena pengaruh politiknya sudah menasional. Pada periode itulah Dahlan Iskan menjadi direktur utama PLN (Perusahaan Listrik Negara) pada 2009 dan kemudian menjadi menteri BUMN pada 2011.
Strukturasi adalah proses interaksi antara struktur dan agen dengan kekuasaan. Jawa Pos adalah struktur dan Dahlan Iskan adalah agen. Struktur dan agen ini kemudian berinteraksi dengan kekuatan politik dan menemukan hubungan yang saling menguntungkan dan membutuhkan.
Discussion about this post