Sementara syarat peminjaman adalah harus status Hak Guna Usaha (HGU). Metode seperti ini cikal bakal konflik lahan. Karena perusahaan tidak mau mengembalikan lahan. Walaupun sudah putus kontrak dalam jangka waktu puluhan tahun.
Salah satu akar permasalahan sengketa penguasaan tanah adalah bukti kepemilikan tanah dan ketimpangan penguasaan. Selama ini upaya konsolidasi tanah banyak menemui kendala seperti sulit mencapai kesepakatan dengan tipologi masyarakat beragam, kurang koordinasi internal dan eksternal antarinstansi dan stakeholder.
Lalu, status tanah belum semua terdaftar dan seringkali tak sesuai dokumen dan masih kurang pemahaman manfaat konsolidasi tanah karena minim anggaran sosialisasi kepada masyarakat. Seperti diketahui dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwa HGU diberikan dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Tetapi justru banyak perusahaan sengketakan ke pengadilan untuk klaim sebagai hal milik perusahaan.
Kalau upaya konsolidasi tanah terkendala untuk diselesaikan, bisa menghambat pembangunan infrastruktur. Capaian konsolidasi tanah hingga saat ini 5.512 hektar, melibatkan 11.599 keluarga. Perlu ada penguatan dasar hukum konsolidasi tanah.
Perencanaan konsolidasi tanah pertanian dan non pertanian yang dapat meningkatkan kualitas dan nilai lahan. Meski begitu, masa berlakunya HGU sudah habis, tetapi status lahan tetap terkatung-katung alias tidak jelas.
Kita perlu bedah, capaian infrastruktur agraria berdasarkan peta dasar seluas 20.038.100 hektar, peta tematik 21,5 juta hektar, peta pengadaan tanah 5,4 juta bidang, peta dasar skala 1:5.000 untuk RDTR di 33 lokasi, dan surveyor kadaster berlisensi 7.271 orang. Peta dasar dan peta tematik yang dihasilkan dapat mendorong pemanfaatan lahan yang lebih optimal bagi masyarakat.
Jika selama ini secara de facto telah turun temurun memiliki, mengelola dan memanfaatkan lahan tanah rakyat sendiri melalui penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan atau Sertifikat Hak Milik (SHM) sehingga masyarakat dapat memiliki bukti secara yuridis atas klaim kepemilikan lahan yang mereka lakukan. Bukan melayani kemauan para perusahaan yang menguasai lahan-lahan rakyat tanpa pendekatan keadilan.
Percepatan pemutihan status lahan untuk selanjutnya diserahkan pada masyarakat melalui penerbitan SPPT atau SHM memberikan dampak positif setidaknya bagi masyarakat. Prioritas pengembangan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada potensi sumberdaya lokal dengan integrasikan sektor-sektor pertanian, perikanan kelautan, pariwisata dan sumber daya alam lainnya. Maka akan sangat luar biasa.
Mendorong pemerintah untuk mempertegas status lahan-lahan yang dipalsukan dokumennya oleh pegawai pertanahan dan mafia tanah. Tanpa harus meminta rakyat kembali membawa masalah ke pengadilan.
Pemerintah harus malu pada masyarakat. Jangan sampai rakyat justru lebih sigap dari pemerintah dalam menangani masalah konflik agraria, sengketa kepulauan dan perampasan tanah-tanah masyarakat pesisir. Indonesia akan suram, kalau pemerintah sekarang meninggalkan jejak konflik agraria akibat melayani oligarki atas nama investasi.(***)
Penulis: Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI), Menulis dari RSUP Fatmawati Jakarta Selatan
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post