Oleh: Hendrik
Hari ini dan mungkin sampai bulan Agustus berlalu, media massa baik itu cetak maupun elektronik serta jejaring dunia maya di banjiri dengan ucapan Dirgahayu untuk kemerdekaan Bangsa Indonesia serta ucapan rasa terima kasih dan mengheningkan cipta untuk pejuang kemerdekaan yang mengangkat senjata melawan penjajahan di bumi nusantara.
Namun, ada satu yang terlupakan yaitu peran pers yang juga ikut andil dalam melawan penjajahan dengan cara menyebarkan informasi, menjadi penghubung antara tokoh-tokoh pergerakan serta melancarkan propaganda kepada musuh melalui surat kabar dan majalah.
Perjalanan Pers di Indonesia dimulai jauh hari sebelum negara Indonesia diproklamasikan.
Pada pertengahan abad ke 18, Belanda menggunakan media cetak untuk kepentingan iklan produk-produk dari perusahaan Belanda kepada orang-orang Belanda yang berada di Indonesia. Surat kabar tersebut bernama BataviaseNouvelles, yang terbit pada 8 Agustus 1744 hingga 20 Juni 1746.
Lalu, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan surat kabarnya sendiri dengan nama Bataviasche Koloniale Courant. Koran ini hanya bertahan selama satu tahun. Media ini terbit perdana pada 15 Januari 1810 dan berakhir pada 18 Januari 1811.
Periode revolusi fisik yang terjadi antara tahun 1945 sampai 1949.
Pada masa ini pers terbagi menjadi dua golongan yaitu:
1. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
2. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik/Nasional.
Kedua pers tersebut sangat berlawanan. Pers nasional disuarakan oleh kaum Republik yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu.
Pers nasional menjadi alat perjuangan pada masa revolusi. Sebaliknya, pers Nica berusaha mempengaruhi bangsa Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di Indonesia. (Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia).
Setelah Belanda takluk dari Jepang di tahun 1942, Jepang menggunakan berbagai media massa untuk media propaganda, mulai dari koran, radio, foto hingga film. Surat kabar yang mendominasi pada saat itu adalah Asia Raya dan Jawa Shinbun. Sementara radio resmi Jepang saat itu bernama Domei.
Empat teori Pers menurut Siebert, Peterson dan Scharmm dalam bukunya “Four Theories of the Press”, ada 4 macam teori pers, yakni Otoriter, Liberal, Komunis, dan Tanggungjawab Sosial.
1. Teori Pers Otoriter (Authoritarian Theory). Teori ini pers mempunyai tugas untuk mendukung dan membantu politik pemerintah yang berkuasa untuk mengabdi kepada negara. Pada teori pers seperti ini, pers tidak boleh mengkritik alat-alat negara dan penguasa. Ditambah lagi pers jenis ini berada di bawah pengawasan dan kontrol pemerintah.
2. Teori Pers Bebas (Libertarian Theory). Teori jenis ini memiliki tujuan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja yang dilakukan oleh pemerintah. Pers liberal beranggapan bahwa pers itu harus mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya, hal ini bertujuan untuk membantu manusia dalam mencari kebenaran.
3. Teori pers komunis (Marxis). Pers teori ini berperan sebagai alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara, dan media massa mau tidak mau harus tunduk kepada pemerintah. Teori ini disebut juga dengan pers “totaliter soviet” atau teori pers komunis Soviet.
4. Teori pers tanggung jawab sosial (Social Responsibility). Pada teori ini pers adalah forum yang dijadikan sebagai tempat untuk memusyawarahkan berbagai masalah dalam rangka tanggung jawab terhadap masyarakat/orang banyak (sosial). Teori ini muncul sekitar awal abad ke-20 setelah adanya protes terhadap kebebasan yang mutlak dari teori liberal.
Peran Pers untuk Kemerdekaan
Sejarah menunjukkan bahwa pers memiliki andil besar dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan imperialis hingga merdeka seperti yang kita rasakan saat ini.
Dengan teori agenda settingnya pers menjalankan konstruksi wacana dimana informasi yang dianggap penting tentang kemerdekaan bangsa Indonesia terus dipublikasi secara terus menerus dengan tujuan mengubah opini khalayak sehingga apa yang dianggap penting oleh media akan dianggap penting juga oleh khalayak dengan kalimat lain.
Pada kondisi itu pers/jurnalis, meminjam istilah Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam bukunya The Elements of Journalism (2006), menyatakan, jurnalis selaku ujung tombak pers harus loyal terhadap masyarakat atau mementingkan kepentingan publik.
Dimasa pendudukan Belanda dan Jepang, para pribumi Indonesia juga mendirikan beberapa surat kabar seperti Medan Prijaji sebuah surat kabar yang disebut sebagai tonggak jurnalistik Indonesia. Surat Kabar itu dipimpin Raden Mas Djokomono yang populer dengan nama RM Tirto Adhie Soeryo.
Keberadaan Medan Prijaji telah “memprovokasi” lahirnya surat kabar atau majalah digunakan kaum pribumi untuk membantu perjuangan melawan penjajah di berbagai daerah di Tanah Air.
Gerakan kebangsaan anti imperialisme dan kolonialisme digaungkan lewat pers/media. Gagasan-gagasan perubahan dan kemerdekaan memanfaatkan surat kabar sebagai simbol perjuangan terhadap penjajah.
Discussion about this post