4. Teori pers tanggung jawab sosial (Social Responsibility). Pada teori ini pers adalah forum yang dijadikan sebagai tempat untuk memusyawarahkan berbagai masalah dalam rangka tanggung jawab terhadap masyarakat/orang banyak (sosial). Teori ini muncul sekitar awal abad ke-20 setelah adanya protes terhadap kebebasan yang mutlak dari teori liberal.
Peran Pers untuk Kemerdekaan
Sejarah menunjukkan bahwa pers memiliki andil besar dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan imperialis hingga merdeka seperti yang kita rasakan saat ini.
Dengan teori agenda settingnya pers menjalankan konstruksi wacana dimana informasi yang dianggap penting tentang kemerdekaan bangsa Indonesia terus dipublikasi secara terus menerus dengan tujuan mengubah opini khalayak sehingga apa yang dianggap penting oleh media akan dianggap penting juga oleh khalayak dengan kalimat lain.
Pada kondisi itu pers/jurnalis, meminjam istilah Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam bukunya The Elements of Journalism (2006), menyatakan, jurnalis selaku ujung tombak pers harus loyal terhadap masyarakat atau mementingkan kepentingan publik.
Dimasa pendudukan Belanda dan Jepang, para pribumi Indonesia juga mendirikan beberapa surat kabar seperti Medan Prijaji sebuah surat kabar yang disebut sebagai tonggak jurnalistik Indonesia. Surat Kabar itu dipimpin Raden Mas Djokomono yang populer dengan nama RM Tirto Adhie Soeryo.
Keberadaan Medan Prijaji telah “memprovokasi” lahirnya surat kabar atau majalah digunakan kaum pribumi untuk membantu perjuangan melawan penjajah di berbagai daerah di Tanah Air.
Gerakan kebangsaan anti imperialisme dan kolonialisme digaungkan lewat pers/media. Gagasan-gagasan perubahan dan kemerdekaan memanfaatkan surat kabar sebagai simbol perjuangan terhadap penjajah.
Surat kabar mengambil sikap oposisi terhadap Belanda. Setelah Medan Prijaji terbit pula Darmo Kondho, Fikiran Ra’jat, Soeloeh Ra’jat Indonesia di luar Jawa surat kabar yang juga menyebarkan gagasan yang sama, contoh Penghantar di Ambon, Sinar Borneo (Banjarmasin), Persatoean (Kalimantan), Pewarta Deli, Matahari (Medan), Sinar Sumatera (Padang), dan lain-lain.
Relasi antara pers dengan demokrasi Indonesia pada tahun 1945-1950 terletak pada peran media yang mencakup surat kabar, radio dan film yang memposisikan diri sebagai media perjuangan kemerdekaan.
Pers sebagai media massa yang menjalankan peran politik sering disebut sebagai pilar demokrasi, karena media politik ini memiliki kemampuan dan kekuatan dalam membentuk opini publik. (Anwar Arifin. Media dan Demokrasi Indonesia).
Media pers yang berupa surat kabar dan majalah memiliki andil yang besar dalam penyebarluasan suara nasionalisme (kebangsaan) Indonesia. Penerbitan pers didukung oleh para golongan terpelajar yang berprofesi sebagai penulis, wartawan, atau penyiar berita.
Pers sendiri memiliki senjata dalam perjuangan kemerdekaan, senjata pers adalah surat kabar dan majalah. Keduanya digunakan untuk menghubungkan komunikasi antar organisasi pergerakan, kemudian antara organisasi pergerakan dengan masyarakat. Berkat adanya pers ini, mulai dari ide, tujuan, dan cita-cita dapat disebarluaskan. Sumber kompasiana.com.
Pers menjadi salah satu media utama yang digunakan oleh golongan elit modern Indonesia dalam menyampaikan perlawanan, kritik terhadap kebijakan Belanda serta mobilisasi massa. Sumber Kompas.com.
Pemerintah menyadari bahwa Negara dan bangsa Indonesia memerlukan pers, oleh sebab itu pemerintah membantu kehidupan pers. Pada masa penjajahan pers dijadikan sebagai alat untuk memperjuangkan dan membangkitkan rasa nasionalisme.
Discussion about this post