Ketiga, bahwa semua rumpun kekuasaan eksekutif dibatasi selama dua periode berturut-turut maupun tidak. Masing-masing periode sama, yakni 5 tahun, mulai dari presiden, gubernur, bupati, dan walikota. Maka kepala desa yang masuk rumpun kekuasaan eksekutif juga harus disamakan.
Hal tersebut juga berkaitan dengan sistem terpadu perencanaan pembangunan dari tingkat pusat hingga desa. Sehingga ada keselarasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, Daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) hingga Desa.
Keempat, bahwa penambahan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun sebagai cara mengatasi konflik pasca pilkades adalah sesat. Parpol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas konflik pasca pilkades seharusnya menawarkan jalan keluar strategis, bukan pragmatis.
Akar persoalan konflik pasca pilkades adalah karena jabatan kepala desa saat ini memiliki kekuasaan dalam pengelolaan anggaran desa yang makin besar. Para calon kades akhirnya menggunakan segala cara untuk merebut atau mempertahankan jabatan kades termasuk dengan politik uang dan eksploitasi ikatan-ikatan primordial.
Kelima, bahwa penambahan masa jabatan dan anggaran dana desa yang ditawarkan semua parpol di DPR RI melalui revisi UU Desa adalah solusi pragmatis dan oportunis. Parpol terpaksa merebut simpati para kades pasca mendapat “ancaman dihabisi suaranya” oleh para kades terhadap parpol yang tidak mendukung perubahan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Keenam, bahwa saat ini rakyat disuguhi akrobat politik “ancam-mengancam”. Para kades mengancam parpol, kemudian parpol melalui 8 Fraksi DPR RI mengancam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Praktik tata kelola pemerintahan kita semakin buruk akibat dinamikanya hanya terkait dengan kepentingan kekuasaan, bukan demi kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Ketujuh, bahwa jika para kades mampu melakukan negosiasi politik pragmatis dan oportunis terhadap parpol dengan “ancaman dihabisi” di Pemilu 2024. Maka rakyat juga akan melakukan negosiasi politik “ancaman menghabisi suara” semua parpol yang mendukung dan melakukan revisi UU Desa terkait penambahan masa jabatan kades dan penambahan dana desa.
Kedelapan, bahwa Kornas menolak negosiasi politik “cari muka” parpol kepada para kades melalui revisi UU Desa. Negara melalui pemerintah dan DPR seharusnya menawarkan gagasan radikal salah satunya berupa pembangunan fasilitas sekolah calon kades melalui perluasan fungsi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Sehingga semua calon kepala desa terlebih dahulu dilatih dan dididik sebelum mengikuti pilkades.
Kesembilan, bahwa Kornas meyakini suara rakyat tidak akan berubah akibat tekanan politik dari kades, lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, hingga presiden. Rakyat memiliki kedaulatan individu untuk menentukan kepada siapa dan parpol mana suaranya diberikan.
Ancaman para kades untuk “menghabisi” suara parpol justru harus dimaknai sebagai tindakan menghasut dan tindakan ingin mempengaruhi hasil pemilu. Maka seharusnya para kades yang menebar ancaman tersebut harus dijerat dengan pidana Pemilu, bukan diberi tambahan perpanjangan masa kerja dan dana desa.
Kesepuluh, bahwa Presiden Jokowi mendapat informasi yang tidak lengkap dan benar tentang alasan melakukan revisi UU Desa. Kornas meminta Presiden Jokowi untuk memerintahkan kementerian terkait menarik diri dari pembahasan revisi UU Desa.
Revisi UU Desa terutama pada pasal penambahan masa kerja kades dan anggaran dana desa hanya untuk kepentingan politik jangka pendek terkait Pemilu 2024.
Kornas konsisten mengajak semua kontestan Pemilu 2024 untuk bertengkar terkait ide, gagasan, dan program politik. Rakyat ingin menyaksikan “pertengkaran politik” yang berbobot, yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat. Bukan sekedar perdebatan kering dan kosong yang hanya berkaitan dengan kepentingan pragmatis dan oportunis para politikus dan parpol.
Jika revisi UU Desa tetap dilanjutkan sesuai kepentingan pragmatis dan oportunis menjelang Pemilu 2024, maka Kornas akan mengajukan judicial review ke MKRI.(***)
Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post