Alokasi dana desa dalam APBN dianggap sebagai “jasa parpol”, maka para kades “terpaksa” berafiliasi kepada Parpol, baik sebagai kader maupun simpatisan. Demikian juga dengan berbagai persoalan hukum yang selalu muncul akibat lemahnya pemahaman dalam tata kelola anggaran dana desa.
Para kades dan perangkat desa yang masih “amatir” sering mengalami persoalan hukum. Maka para kades memilih “berteman baik” agar mendapat “perlindungan dari parpol”.
Perpanjangan Masa Kerja Kades Sesat
Sebagai respon atas kesesatan berpikir parpol secara kolektif di DPR RI yang menawarkan solusi pragmatis dan oportunis tersebut, maka Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Pertama, bahwa sebelum sistem pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, Indonesia telah melaksanakan pemilihan kepala desa (Pilkades) secara langsung. Sebelum reformasi, meskipun ada konflik dalam proses pilkades, hal tersebut dianggap sebagai dinamika demokrasi. Tidak terjadi konflik berkepanjangan yang membutuhkan waktu untuk pemulihan.
Kedua, bahwa konflik dalam pilkades belakangan ini dipastikan sebagai akibat pengaruh buruk dari parpol yakni politik uang dan eksploitasi ikatan-ikatan primordial. Sehingga untuk menghilangkan konflik berkepanjangan, parpol yang seharusnya dilarang terlibat dalam Pilkades baik langsung maupun tidak langsung.
Ketiga, bahwa semua rumpun kekuasaan eksekutif dibatasi selama dua periode berturut-turut maupun tidak. Masing-masing periode sama, yakni 5 tahun, mulai dari presiden, gubernur, bupati, dan walikota. Maka kepala desa yang masuk rumpun kekuasaan eksekutif juga harus disamakan.
Hal tersebut juga berkaitan dengan sistem terpadu perencanaan pembangunan dari tingkat pusat hingga desa. Sehingga ada keselarasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, Daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) hingga Desa.
Keempat, bahwa penambahan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun sebagai cara mengatasi konflik pasca pilkades adalah sesat. Parpol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas konflik pasca pilkades seharusnya menawarkan jalan keluar strategis, bukan pragmatis.
Akar persoalan konflik pasca pilkades adalah karena jabatan kepala desa saat ini memiliki kekuasaan dalam pengelolaan anggaran desa yang makin besar. Para calon kades akhirnya menggunakan segala cara untuk merebut atau mempertahankan jabatan kades termasuk dengan politik uang dan eksploitasi ikatan-ikatan primordial.
Kelima, bahwa penambahan masa jabatan dan anggaran dana desa yang ditawarkan semua parpol di DPR RI melalui revisi UU Desa adalah solusi pragmatis dan oportunis. Parpol terpaksa merebut simpati para kades pasca mendapat “ancaman dihabisi suaranya” oleh para kades terhadap parpol yang tidak mendukung perubahan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Keenam, bahwa saat ini rakyat disuguhi akrobat politik “ancam-mengancam”. Para kades mengancam parpol, kemudian parpol melalui 8 Fraksi DPR RI mengancam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Praktik tata kelola pemerintahan kita semakin buruk akibat dinamikanya hanya terkait dengan kepentingan kekuasaan, bukan demi kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Discussion about this post