Ketiga, aniaya (zalim). Perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan lalim (aniaya), karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat yang tak sedikit mereka peroleh dengan susah payah.
Ulama fikih pun menetapkan bahwa tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis, bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syara’ kepada hakim.
Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara’ dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor. Sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi, begitu pula orang lain yang memiliki keinginan serupa.
Hanya saja, jauh sebelum sanksi diberikan kepada para koruptor, tentu ada upaya preventif yang akan dilakukan dalam rangka meminimalisasi dan membabat tuntas tindakan tersebut.
Adapun upaya tersebut dapat berupa tidak adanya biaya politik dalam meraih suatu jabatan, memberikan gaji yang layak, sehingga kesejahteraan para pegawai tercukupi. Selain itu adanya ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara dalam memberlakukan sistem yang senantiasa mengondisikan ketakwaan rakyatnya.
Oleh karena itu, tak mudah membabat habis korupsi, jika minim adanya sinergi antara individu, masyarakat, terlebih peran negara dalam menuntaskan kasus tersebut. Karenanya penting adanya upaya preventif dan menerapkan sanksi yang menimbulkan efek jera.
Hal itu pun hanya bisa diwujudkan, jika hukum-hukum-Nya dapat diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan dalam bingkai sistem Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bi ash-shawab.(***)
Penulis adalah Freelance Writer asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post