Saya mengenal pak Margiono ketika kami sama-sama menjadi pengurus PWI Pusat di kepimpinan bang Tarman Azzam yang kedua (2003-3008). Waktu itu saya menjabat Ketua Bidang Pendidikan dan pak MG (begitu panggilan anak buahnya) Ketua Bidang Daerah.
Waktu itu kenalnya juga samar-samar karena kalau rapat pleno pak MG senang duduk di barisan belakang dan jarang sekali bersuara. Kecuali kalau ditanya. Jadi lebih banyak menyimak perbincangan.
Kami bertemu lagi di lobi hotel Savoy Homan Bandung, ketika puncak acara Hari Pers Nasional tahun 2006 diadakan di Gedung Asia Afrika.
Waktu itu pembagian kamar, dan saya ternyata dapat jatah satu kamar dengan Pak MG, meskipun ternyata saat malam dia tidak muncul dan saya nginap sendirian. Yang menarik, saat bincang-bincang, saat itu menyinggung koran Lampu Merah yang disomasi karena beritanya dianggap merugikan.
Saya bilang, gampang saja menghindari kasusnya. Ganti saja menjadi Lampu Hijau,” dengan berkelakar. Ternyata tidak lama kemudian nama koran diganti, entah karena pendapat saya atau tidak.
Saya menjadi dekat dengan Pak MG ketika dia terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat dalam Kongres PWI tahun 2008 di Banda Aceh. Tidak lama setelah ditetapkan sebagai formatur dan ketua umum, dia menghampiri saya yang duduk bersama pengurus lain di panggung.
“Pak Hendry menjadi Sekjen ya,” katanya. Baik, pak MG,” kata saya secara spontan. Sebelumnya pak Tarman dan beberapa pengurus memang memberi info saya sudah dicalonkan menjadi Sekjen,” ujar Hendry.
Lalu dia mengajak saya ngobrol ke luar Hotel Hermes. Dia ditelpon atau menelpon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang konon dekat dengan beliau. Pak MG bertanya-tanya tentang nama pengurus yang perlu dipertahankan dan yang tidak produktif, sebelum rapat dengan formatur lain. Saya memberi saran dan catatan. Setelah beberapa waktu dia keluar dari ruangan.
Discussion about this post