Rangkaian Kegiatan HPN 2022 Dilakukan dengan Prokes yang Ketat https://t.co/EKYkccvMZe
— Penasultra.id (@penasultra_id) February 2, 2022
Ternyata beberapa nama yang saya minta dicoret, oleh formatur lain diminta dipertahankan. Dan orang yang saya minta, malah mau dicoret. Akhirnya tercapai susunan yang kompromistis, karena perubahan memang harus gradual. Yang pasti dua nama yang diminta dicoret, saya selundupkan dengan melebarkan bidang dari satu menjadi dua.
Yang menjadi catatan dalam menjalankan tugas sebagai Sekjen, saya selalu diberi kepercayaan penuh. Apa saja yang saya usulkan pasti diterima. Agar tidak kebablasan maka saya membiasakan diri berkonsultasi dengan Sasongko Tejo yang menjadi Ketua Bidang Organisasi, Marah Sakti Siregar sebagai Ketua Bidang Pendidikan, terkadang juga dengan Atal S Depari yang menjabat Ketua Bidang Daerah. Karena itu proses berorganisasi berjalan baik.
Salah satu hal yang luar biasa adalah penekanan pak MG pada peningkatan pelatihan anggota PWI.
“Kalau ada 10 program, maka 1, 2, 3 sampai 9 adalah pendidikan,” kata pak MG.
Dan itu memang dibuktikan tidak hanya dengan Safari Jurnalistik yang sudah jalan tetapi dengan penyelenggaran Sekolah Jurnalisme Indonesia, yang angkatan pertamanya di Palembang, mendapat kuliah umum dari Presiden SBY.
Setelah itu SJI diadakan di belasan provinsi dan terus berlanjut atas dukungan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang waktu itu dipimpin Mohammad Nuh, kini Ketua Dewan Pers.
Karena lobi-nya maka PWI dapat bekerja sama (disponsori) Bank Mandiri dalam melakukan uji kompetensi secara gratis di 34 provinsi pada tahun 2013. Bank nasional itu membiayai semuanya, mulai dari sewa tempat, tiket dan honorarium penguji, dan tetek bengeknya. Pengurus PWI Provinsi sangat gembira karena mereka tidak perlu susah payah mencari dana untuk mensertifikatkan anggotanya.
Oleh karena itu tidak heran PWI menjadi organisasi dengan jumlah anggota yang bersertifikat paling banyak, dibanding organisasi wartawan lainnya. Apalagi kemudian mereka berhasil melakukan UKW mandiri, bekerja sama dengan pemerintah daerah, BUMN, perusahaan swasta.
Pak MG sempat digadang-gadang menjadi menteri di periode kedua kepengurusannya dan rumornya santer terdengar. Dia pun kerap dimintai pendapat oleh RI 1 dan bahkan menjadi panelis Konvensi Partai Demokrat untuk Pilpres 2014.
“Pak Sekjen saja yang menjadi Ketua Umum ya, saya banyak sekali kesibukan,” katanya dengan haru.
“Saya bilang, jangan, pak. Pak MG itu simbol PWI silakan sibuk di luar, kami akan mengerjakan semuanya,” ungkap dia.
Nah ketika pak MG mencalonkan diri menjadi Bupati Tulungagung, dia sempat non aktif beberapa bulan dan Sasongko Tejo menjabat sebagai Plt Ketua Umum PWI Pusat. Pada saat inilah ada yang mengkritik karena seharusnya pak MG melepas jabatan, tetapi dalam PD PRT PWI hal itu tidak diatur dan tidak dianggap sebagai konflik kepentingan sehingga sifatnya hanya nonaktif.
Dan kami semua pengurus harian, tidak mempermasalahkan karena memang unsur-unsur PWI di Jawa Timur ataupun Tulung Agung bersikap netral. Mereka faham kode etik.
Satu ciri Pak MG adalah malas pakai sepatu, yang di acara formal diakali dengan memakai sepatu yang belakangnya terbuka. Kalau diacara internal lebih sering menggunakan sepatu sandal, dan itu dimaklumi. Nggak masalah karena soal sepatu tidak ada hubungannya dengan kepemimpinan.
Kenangan terindah dari Pak MG barangkali adalah sambutannya yang selalu ditunggu-tunggu ketika berlangsung Hari Pers Nasional. Presiden SBY dan Jokowi pasti tertawa, bahkan terpingkal-pingkal, ketika dia berpidato. Melakukan kritik, tetapi enak didengar dan dengan bahasa yang santun. Terakhir itu dilakukannya saat menjadi Penanggungjawab HPN di Surabaya, Jawa Timur, tahun 2019.
Saya terakhir ngobrol dengan Pak MG dalam acara pernikahan anak saya di kawasan Serpong, tanggal 9 Januari lalu. Kami ngobrol walau tidak lama. Pada tanggal 10 ketika ada acara Dewan Pers di Hotel Swissbell Serpong, kami jumpa lagi, dia sedang duduk-duduk di lobi hotel dan saya akan makan siang di lantai 2. Menyapa beberapa kalimat saya berjanji akan ngobrol setelah itu. Ternyata ketika saya turun Pak MG sudah pergi bersama anaknya.
Sebelum itupun kami sering ngobrol dalam beberapa bulan terakhir. Terutama kalau ada event Dewan Pers di Swissbell, atau kalau istri saya diundang ngopi atau makan siang oleh istri Pak MG. Kesan saya, dia cukup sehat dan kami bisa ngobrol sampai 2 jam lebih dan diskusi berlangsung hangat.
Umur memang di tangan Sang Pencipta. Ketika Pak MG dibawa ke RS Pertamina di Simprug, saya berharap dapat berjumpa lagi dan ngobrol seperti biasa. Ternyata itu hanya harapan.
Selamat jalan Pak MG. Begitu besar jasamu bagi PWI. Tempat terbaikmu adalah surga. Alfatihah.(***)
Penulis merupakan Wakil Ketua Dewan Pers/Direktur Utama Siberindo.co
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post