<strong>Oleh: Ridho Rahmadi</strong> Kemarin Pak Amien Rais, saya, dan rombongan Partai Ummat datang ke Rempang. Kami datang atas rasa kemanusiaan dan atas rasa persaudaraan. Cemas sekaligus penuh pengharapan, demikian kira-kira arti air muka warga Rempang, kalau boleh saya terjemahkan. Namun pun begitu, mereka tetap menyambut kami semua dengan hangat. Hati saya bergemuruh, melihat kontrasnya gemerlap kota Batam yang dipenuhi pertokoan besar, digarisi jalan-jalan beraspal lebar, dan kapal-kapal pesiar yang terparkir di galangan dekat pusat kota. Jika dibandingkan dengan kehidupan 16 kampung tua di Rempang yang akan digusur tersebut, Batam bagaikan langit dan Rempang bagaikan bumi. Di kampung-kampung tua itu, telah hidup enam generasi warga Rempang di dalam rumah-rumah kecil beratapkan seng yang berjajar di bahu jalan kecil beraspal tak rata. Ratusan tahun mereka hidup damai bersama alam yang indah; bukit-bukitnya hijau, lautnya biru. Kehidupan yang damai itu seketika pergi, karena tanah yang telah mereka huni ratusan tahun tersebut, dimana bersemayam jasad para orang tua, kakek nenek leluhur mereka, akan digusur oleh negara, atas nama proyek pemerintah triliunan rupiah, lewat pembangunan pabrik kaca terbesar kedua di dunia, oleh perusahaan China. Presiden Jokowi tidak hanya kehilangan akal, namun juga nuraninya sendiri. Ia bahkan telah melanggar sumpahnya sebagai Presiden, “Demi Allah saya bersumpah, akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden RI dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 45 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” Di Rempang, keadilan telah lenyap. Di mata presiden, masyarakat Rempang dengan sejarah dan peradaban Melayunya yang telah berusia ratusan tahun, dianggap tidak penting. Investor lebih penting. Masalah dianggap remeh oleh pemerintah, mereka bilang “ini hanya masalah komunikasi”, bahkan menakut-nakuti dengan “kita akan bulldozer yang menghalangi”, “kita akan piting satu-satu”. Sebagian lain bersikap apologi dengan mengatakan “ini bukan penggusuran tapi pengosongan”, atau “mereka tidak punya sertifikat”. Sekali lagi, masihkah ada hati nurani di antara mereka? Rakyat Rempang tidak menolak investasi. Namun mereka menolak untuk direlokasi, dan itu harga mati. Mereka telah ratusan tahun tinggal di sana. Relokasi akan mematikan kehidupan mereka yang telah terbiasa melaut. Luas 16 kampung tua itu sebenarnya tak lebih dari 10% wilayah proyek. Tanpa relokasi pun proyek tetap bisa berjalan. Namun memang dasar yang namanya serakah, tidak pernah ada batasnya. Kami sebagai sesama anak bangsa, meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan rencana penggusuran warga Rempang, dan mengembalikan hak-hak serta kehidupan mereka seperti sedia kala. Rakyat di atas segalanya adalah mutlak tidak dapat diganggu gugat. Masih ada waktu seorang presiden Jokowi untuk menepati janji yang pernah diucapkan di dalam sumpah presiden yang sangat sakral tersebut.<strong>(***)</strong> Banda Aceh, 20 September 2023 <strong>Penulis adalah Ketua Umum DPP Partai Ummat</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/ENp3ogEfbNQ?si=Nh_joXXFZ8b5J6X3
Discussion about this post