Oleh: Aan Sang Pengelana
Beberapa minggu terakhir kita disuguhkan dengan konten-konten anggota DPD “konten” yang mengklaim bahwa Jembatan Buton Muna (Tona) dianggarkan masa pemerintahan Pj. Gubernur Sultra, Andap Budhi Revianto.
Kritikan keras dialamatkan sang DPD konten bernama Umar Bonte (lebih keren Umar Borro) bahwa realisasi jembatan yang menghubungkan Pulau Muna dengan Pulau Buton adalah hasil kerja keras Andap. Benarkah?
Atau kebohongan yang dibungkus pencitraan Si Bonte sebagai putra Sultra hebat dan maha tahu & tempe. Bahkan lebih lucu lagi nama mantan Gubernur Nur Alam disebut sebagai penggagas. Benarkah?
Yuk. Kita telisik…. Jika benar harusnya Bonte (sapaan lebih cocok) memberikan data dan fakta, bukan omong-omong dan omong doank. Yuk telisik alur program dan kegiatan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara di masa Andap. Realitanya, defisit anggaran Pemprov Sultra tahun 2025 sebagai prestasi yang ditorehkan Pj. Gubernur.
Ini fakta… Silakan dibuktikan di lembar keuangan BPKAD dan lembar perencanaan Bappeda. Atau silakan masyarakat membuka program dan usulan kegiatan Dinas Bina Marga, Dinas Cipta Karya dan Dinas PUPR Prov. Sultra.
Semua itu adalah kebohongan dibungkus Si Bonte dalam rangka membangun citra positif bahwa dialah yang terbaik. Padahal, nun jauh sebelumnya, masyarakat tidak amnesia dengan sosok Si Bonte di Sultra.
Bagaimana faktanya? Jembatan Tona sebetulnya sejak La Ode Kaimuddin (Gubernur Sultra) sudah menggagas namun belum terealisasi karena kebijakan anggaran dari pemerintah pusat belum berpihak. Satu dekade, Pemkot Baubau telah menyelesaikan Fisibility Study Jembatan Tona, namun kemudian mandek.
Di tengah tahun 2019, legislator asal Sultra menggagas untuk percepatan pembangunan Jembatan Tona. Bahkan dalam beberapa pertemuan, legislator Ridwan Bae, berangan-angan menyambung Pulau Muna dengan daratan Konsel. Impiannya, Sultra ke depan menjadi daerah yang tidak lagi terpisahkan lautan.
Gagasan tersebut disambut Kepala Balitbang ketika itu, Dr. Sukanto Toding, MSP., MA., yang kemudian menganggarkan biaya penelitian sosial ekonomi dan teknis jembatan tersebut. Kemudian terbentuklah tim yang diketuai Dr. Bahtiar dan Dr. Romi Tamburaka.
Dalam tim tersebut, Romi dan kawan-kawan menjadi peneliti teknis Jembatan Tona sementara Dr. Bahtiar dan kawan-kawan lainnya sebagai peneliti dibidang sosial dan ekonomi. Pelaksanaan penelitian ini menindaklanjuti mandeknya program Pemkot Baubau untuk pembangunan Jembatan Tona.
Romi akan mengiris aspek teknis jembatan, konon tidak terbangun karena kedalaman palung dan kekuatan arus di Selat Tona sangat dalam (di atas 100 meter) sehingga untuk membangun Jembatan Tona dengan menggunakan kaki-kaki seperti Jembatan Teluk Kendari, tidak memungkinkan.
Apalagi, selat tersebut dilalui lalulintas kapal Pelni dan kapal besar lainnya. Begitu juga dari aspek sosial ekonomi karena dalam Fisibility Study sebelumnya belum menyisir sosial ekonomi.
Selama enam bulan dilakukan riset yang berkolaborasi dengan Pemkot Baubau dan Pemda Buteng maka dihasilkan sebagai berikut: mengubah Jembatan Tona dari memakai kaki-kaki kemudian menjadi jembatan gantung atau layang.
Titik nol pembangunan Jembatan Tona di Kabupaten Buteng dan Kota Baubau hasil pendalaman tim PUPR Jakarta dianggap memiliki batuan rapuh sehingga dipindah titik nolnya (tetap di Kelurahan Lea-lea) namun digeser ke kanan (ada dalam desain gambar yang disimpan Balitbang Prov.). Sementara di Kabupaten Buteng dipindahkan dekat Makam leluhur yang dihormati (Sangia Wambula).
Aspek ekonomi dan sosial disimpulkan sangat membantu kemudahan dan akses berusaha baik petani, pekebun dan pedagang di Kota Baubau, Buton, Busel maupun Buton Tengah, Muna Barat dan Muna.
Hasil ini kemudian ditindaklanjuti di Kementerian PUPR dan dijanjikan akan menjadi program prioritas nasional. Saat itu Ridwan Bae berjanji akan tetap mengawal. Selama dua tahun vakum dikarenakan Covid 19 (itu juga salah satu indikator terhambatnya penganggaran) maka tahun 2021, Ali Mazi, Gubernur Sultra ketika itu, menghangatkan kembali isu tersebut.
Discussion about this post