Fenomena diatas menimbulkan pertanyaan, mengapa keberadaan partai semakin tidak bermakna pada pemenangan pemilu baik lokal maupun nasional, apakah partai sudah tidak berharga lagi bagi pemilih?.
Transformasi Partai: Menuju Partai Catch-All
Dengan banyaknya partai politik yang bersaing, baik dalam Pemilu 1999 (48 partai politik), Pemilu 2004 (24 partai politik), Pemilu 2009 (38 partai politik) dan Pemilu 2014 (12 partai nasional dan tiga partai lokal) kesulitan untuk mendapatkan suara yang hanya mengandalkan segmen massa politik yang terbatas.
Sedangkan di tahun 2024 ada tren kenaikan jumlah partai politik yang lolos Verfak (dari total 18 parpol, 8 parpol lolos ke DPR).
Dari penjebaran singkat diatas, dapat dipahami bahwa banyak partai politik pada Pemilu 1999 harus gulung tikar akibat kurangnya dukungan untuk memenuhi electoral threshold.
Begitu pun nasib partai politik yang lolos electoral threshold dengan segmen pemilih yang sempit, mengalami penurunan jumlah dukungan pemilih akibat ketidakmampuannya dalam meraih dan mempertahankan simpati pemilih.
Persoalan survival partai. Ketakutan partai politik akan kehilangan status peserta pada pemilu berikutnya dan usaha partai politik memperbesar basis konstituen dengan mentrasformasi diri menjadi partai catch-all.
Kondisi ini telah mendorong partai-partai untuk memperluas segmen massa pemilihnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Demi memperoleh suara yang lebih besar dalam pemilu, ada kecenderungan partai-partai melakukan pencairan basis ideologi mereka, dengan cara mengubah sifat organisasi yang eksklusif menjadi inklusif.
Logika ini mengandaikan bahwa segala pergulatan politik bergantung pada kreatifitas elite dalam menggiring massa politik untuk larut ke dalam jualan politik yang ditawarkan.
Selanjutnya, bila kalkulasi elitis ini terjadi dalam sistem politik yang masih memberlakukan personifikasi institusi, maka format catchall party berpotensi melahirkan oligarki dalam tubuh partai itu sendiri. Dan, hal ini bertentangan dengan jati diri partai politik sebagai pilar demokrasi.
Koalisi Pragmatis dalam Pilkada
Jika dilihat dari jumlah partai yang memperoleh kursi di parlemen, sistem kepartaian pasca-reformasi menunjukkan pluralisme terpolarisasi. Meskipun sejatinya dalam konteks berideologi antara partai satu dengan yang lainya memiliki kesamaan. Lebih jauh, ditemukan adanya pola persaingan partai yang tidak konsisten di tingkat elektoral.
Kita ambil contoh, Pemilu Legislatif terjadi persaingan antar partai yang begitu tinggi, namun perilaku politik tersebut akan berbanding terbalik ketika di hadapkan pada proses pemilihan kepala daerah. Banyak partai yang awalnya bersaing, justru bahu membahu untuk memenangkan konstelasi politik.
Discussion about this post