Persoalan survival partai. Ketakutan partai politik akan kehilangan status peserta pada pemilu berikutnya dan usaha partai politik memperbesar basis konstituen dengan mentrasformasi diri menjadi partai catch-all.
Kondisi ini telah mendorong partai-partai untuk memperluas segmen massa pemilihnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Demi memperoleh suara yang lebih besar dalam pemilu, ada kecenderungan partai-partai melakukan pencairan basis ideologi mereka, dengan cara mengubah sifat organisasi yang eksklusif menjadi inklusif.
Logika ini mengandaikan bahwa segala pergulatan politik bergantung pada kreatifitas elite dalam menggiring massa politik untuk larut ke dalam jualan politik yang ditawarkan.
Selanjutnya, bila kalkulasi elitis ini terjadi dalam sistem politik yang masih memberlakukan personifikasi institusi, maka format catchall party berpotensi melahirkan oligarki dalam tubuh partai itu sendiri. Dan, hal ini bertentangan dengan jati diri partai politik sebagai pilar demokrasi.
Koalisi Pragmatis dalam Pilkada
Jika dilihat dari jumlah partai yang memperoleh kursi di parlemen, sistem kepartaian pasca-reformasi menunjukkan pluralisme terpolarisasi. Meskipun sejatinya dalam konteks berideologi antara partai satu dengan yang lainya memiliki kesamaan. Lebih jauh, ditemukan adanya pola persaingan partai yang tidak konsisten di tingkat elektoral.
Kita ambil contoh, Pemilu Legislatif terjadi persaingan antar partai yang begitu tinggi, namun perilaku politik tersebut akan berbanding terbalik ketika di hadapkan pada proses pemilihan kepala daerah. Banyak partai yang awalnya bersaing, justru bahu membahu untuk memenangkan konstelasi politik.
Fakta terjalinnya koalisi antara partai yang berlainan ideologi, disinyalir hanya bersumber pada vested interest, yakni kepentingan untuk meraih kekuasaan, jabatan dan privilese ekonomi. Kondisi demikian menurut Ambardh justru menunjukkan sebuah sistem kepartaian yang terkartelisasi.
Kondisi sistem kepartaian yang terkartelisasi di Indonesia pasca-reformasi menjadi ajang “penjarahan” sumber daya alam atau keuangan negara baik secara legal maupun ilegal. Dampak dari sistem kepartaian yang terkartelisasi ini adalah terjadinya kolusi antara pemerintah dan partai politik yang pada akhirnya merugikan kepentingan konstituen.
Koalisi yang dibangun atas dasar pragmatisme atau bahasa kekiniannya sebagai koalisi pembagian ladang garapan ini akan berdampak pada terciptanya habitus korup di kalangan elite kekuasaan.
Implikasi dari sebuah koalisi yang memiliki tujuan untuk berbagai kue kekuasaan, dirasa tidaklah linier jika masyarakat masih mengharapkan dukungan partai sebagai keterwakilan pembawa pesan kebijakan kesejahteraan atas arah kebijakan politik pemerintahan yang akan dijalankan.
Rendahnya Tingkat Pelembagaan Partai
Mengutip hasil penelitian Mainwaring dan Scully di Amerika Latin, ada empat faktor yang menjadi penyebab lemahnya sistem kepartaian. Pertama, pola elektoral yang tidak stabil. Kedua, rapuhnya akar partai dalam masyarakat. Ketiga, rendahnya legitimasi partai dan Pemilu bagi mereka yang memerintah. Keempat, aturan dan struktur organisasi partai yang tidak stabil.
Pengetahuan dasar politik, tingkat pelembagaan partai politik sangat menentukan terciptanya sistem keterwakilan politik yang berkualitas. Reformasi struktural yang telah dilakukan sejak awal periode reformasi ternyata tidak serta merta meningkatkan kualitas keterwakilan partai politik.
Kondisi ini merupakan imbas dari ketidakjelasan relasi partai dan pemilih yang ditunjukkan dari tiadanya benang merah antara aspirasi masyarakat dan kebijakan pemerintah.
Hal ini ditambah pula dengan semakin kaburnya cita-cita ideal partai yang harus representasikan kehendak rakyat, dan kekaburan ini tampak pada banyak hal, misalnya perilaku para wakil rakyat yang tidak elok.(***)
Penulis: Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pegiat Literasi Nusa Tenggara Barat
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post