Oleh karena itu tentu saja mereka haruslah terpelajar dalam arti kompeten akan profesinya. Memiliki kesadaran etika, menghayatinya, dan menjunjung tinggi etika itu dalam perbuatan dan produk jurnalistiknya. Tidak sekadar hafal tetapi tidak mempraktekkannya.
Dia harus berpengetahuan luas, membaca apa saja khususnya yang terkait profesinya. Tanggap akan aturan dan ketentuan baru, mengikuti perkembangan, memahami isyu-isyu aktual yang ada di masyarakatnya. Tidak bosan bertanya dan mencari tahu agar sebagai “guru publik” dia tidak tersesat informasi.
Dia juga harus terampil dalam menyajikan peristiwa yang akan dijadikannya karya jurnalistik, mengolah berbagai informasi dari kejadian maupun kepustakaan, dengan pilihan bahasa yang paling mewakili pikirannya agar tepat sasaran dan tidak menimbulkan persoalan. Agar beritanya enak dinikmati, menyentuh, mendudukkan persoalan sebagaimana mestinya.
***
Lalu apakah dengan semua kemampuan itu wartawan hidup sejahtera? Inilah tantangan berikutnya bagi mereka yang ingin menjadi wartawan sebagai profesi.
Profesi wartawan menjadikan Anda berpeluang dihormati, iya. Menjadikan Anda dapat berdiri bersama Presiden, duduk bersama Menteri, berbincang dengan Gubernur, menelpon Jenderal, diundang ke luar negeri, itu betul. Tetapi menjadikan Anda sejahtera, belum tentu. Bahkan kemungkinannya kecil.
Wartawan yang taat pada kode etik, menjaga martabat dan nama baiknya, setia pada jati diri profesinya, tidak akan pernah bisa kaya. Ya, hidup normal saja. Menyekolahkan anak ke perguruan tinggi swasta pun mungkin sulit. Membelikan anak HP terbaru pun mungkin tidak bisa. Karena paling dia dapat nafkah dari gaji, atau barangkali narasumber karena dianggap pakar atau spesialis, atau dari buku yang dia tulis.
Tetapi kalau wartawan hanya dianggap cuma sebagai pekerjaan, bahkan untuk mencari relasi kepentingan bisnis, sebagai tangga untuk melompat menjadi kontraktor, agar mendapatkan informasi yang memberikan keuntungan. Atau untuk mendapatkan uang secara mudah setiap saat, bisa jadi Anda menjadi orang “kaya”.
Tetapi yang jelas Anda tidak akan lagi bisa disebut sebagai wartawan. Cuma numpang nama saja.(***)
Penulis adalah Wartawan Senior, Wakil Ketua Dewan Pers
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post