<strong>Oleh: Dr. (Phil) M. S. Shiddiq, S.Ag, M.Si</strong> Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 yang digelar di Pekanbaru, Riau, kembali menjadi momentum bagi insan pers untuk merefleksikan peran dan tanggung jawabnya dalam menjaga demokrasi. Pers yang independen dan berintegritas merupakan pilar utama dalam sistem politik yang sehat. Namun, di era digital saat ini, tantangan terhadap independensi pers semakin kompleks. Komersialisasi, tekanan politik, serta penyebaran misinformasi telah mengikis kepercayaan publik terhadap media. Dalam sistem demokrasi, pers tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pengawas kekuasaan. Sayangnya, berbagai kepentingan politik dan ekonomi kerap mengancam independensi jurnalisme. Sebagaimana dikemukakan oleh McQuail (2010, hlm. 85), "Pers yang tidak independen akan kehilangan kredibilitasnya di mata publik dan berubah menjadi alat propaganda bagi kepentingan tertentu." Jika hal ini terus dibiarkan, maka pers tidak lagi menjadi suara rakyat, melainkan corong kekuasaan. <strong>Pers, Kepentingan Politik dan Bias Pemberitaan</strong> Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak media saat ini berafiliasi dengan pemilik modal yang memiliki kepentingan politik. Akibatnya, keberpihakan dalam pemberitaan menjadi tak terhindarkan. Hal ini juga diperkuat oleh studi yang dilakukan oleh Hanitzsch (2007, hlm. 191), yang menyebut bahwa "Praktik jurnalisme di banyak negara masih dipengaruhi oleh kepentingan elit politik dan bisnis, sehingga objektivitas sering dikorbankan demi keuntungan ekonomi." Di Indonesia, tidak sulit menemukan contoh media yang memberitakan isu-isu tertentu dengan bias yang jelas. Beberapa media tampak cenderung menjadi alat legitimasi bagi kelompok politik tertentu, sehingga berita yang disajikan tidak lagi berimbang. Dalam teori komunikasi politik, hal ini dikenal sebagai "agenda setting," di mana media memiliki kekuatan untuk menentukan isu mana yang dianggap penting dan bagaimana isu tersebut dibingkai. Kasus Pemilu 2024 menjadi contoh nyata bagaimana media bisa menjadi alat propaganda. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nugroho et al. (2024, hlm. 45), ditemukan bahwa "Liputan media terkait kandidat tertentu menunjukkan adanya preferensi yang kuat terhadap satu kubu politik, yang berujung pada penggiringan opini publik." Fenomena ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar pers saat ini bukan hanya menjaga independensi, tetapi juga menghindari manipulasi informasi demi kepentingan politik tertentu. <strong>Jurnalisme Klikbait dan Degradasi Etika</strong> Persoalan lain yang semakin mengkhawatirkan adalah tren jurnalisme klikbait. Media online berlomba-lomba untuk mendapatkan traffic tinggi dengan judul sensasional, sering kali mengorbankan akurasi dan kualitas berita. Menurut Kovach dan Rosenstiel (2014, hlm. 127), "Di era digital, pers menghadapi dilema antara mempertahankan standar jurnalistik atau mengejar keuntungan ekonomi melalui strategi konten yang provokatif." Jurnalisme semacam ini tidak hanya merusak kredibilitas media, tetapi juga berkontribusi pada penyebaran misinformasi. Sebuah studi oleh Newman et al. (2023, hlm. 34) menunjukkan bahwa "Sebanyak 68% responden mengaku pernah tertipu oleh berita dengan judul bombastis yang ternyata tidak sesuai dengan isi beritanya." Ini membuktikan bahwa tantangan pers saat ini bukan hanya berasal dari tekanan eksternal, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri. <strong>Krisis Kepercayaan Publik terhadap Media</strong> Kondisi pers yang semakin terpolarisasi ini berujung pada krisis kepercayaan publik terhadap media. Dalam survei yang dilakukan oleh Edelman Trust Barometer (2024, hlm. 59), ditemukan bahwa "Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media di Indonesia hanya mencapai 46%, turun signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya." Hal ini menunjukkan bahwa publik mulai meragukan kredibilitas media sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka pers akan kehilangan fungsinya sebagai penjaga demokrasi. Keadaan ini diperparah dengan maraknya hoaks dan disinformasi di media sosial yang sering kali lebih dipercaya dibandingkan berita dari media konvensional. Dalam konteks ini, pers dituntut untuk lebih transparan dan akuntabel dalam menyajikan berita agar dapat merebut kembali kepercayaan publik. <strong>Membangun Pers yang Berintegritas</strong> Menjaga integritas dan independensi pers bukan hanya tanggung jawab media itu sendiri, tetapi juga tanggung jawab seluruh ekosistem jurnalisme, termasuk pemerintah, organisasi pers, dan masyarakat. Pertama, perusahaan media harus berkomitmen untuk tidak terkooptasi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Schudson (2011, hlm. 89), "Media yang memiliki independensi redaksional yang kuat akan lebih mampu menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif terhadap pemerintah dan korporasi." Kedua, jurnalis harus lebih berpegang teguh pada kode etik jurnalistik. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam kode etiknya menyatakan bahwa "Wartawan harus independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk" (PWI, 2020, hlm. 15). Sayangnya, dalam praktiknya, masih banyak jurnalis yang tergoda oleh berbagai bentuk gratifikasi yang dapat mengganggu independensi pemberitaan. Ketiga, masyarakat juga memiliki peran dalam mendorong media yang berintegritas. Konsumen berita harus lebih selektif dalam memilih sumber informasi dan lebih aktif dalam melakukan verifikasi terhadap berita yang diterima. Menurut Wardle dan Derakhshan (2017, hlm. 71), "Literasi media yang baik akan membantu publik membedakan antara berita yang akurat dan propaganda." Oleh karena itu, edukasi literasi media harus menjadi agenda nasional untuk memperkuat daya kritis masyarakat terhadap informasi yang beredar. <strong>Penutup</strong> Di tengah tantangan yang semakin besar, pers di Indonesia harus kembali pada prinsip dasarnya sebagai pilar demokrasi. Independensi dan integritas harus menjadi nilai utama dalam setiap pemberitaan. Jika media terus tunduk pada kepentingan politik dan ekonomi, maka demokrasi yang sehat hanya akan menjadi utopia. Peringatan Hari Pers Nasional 2025 ini harus menjadi refleksi bagi seluruh insan pers untuk kembali pada khitahnya. Pers yang kuat adalah pers yang bebas dari intervensi, berorientasi pada kepentingan publik, serta menjunjung tinggi nilai-nilai jurnalisme yang profesional dan etis. Hanya dengan demikian, pers dapat tetap relevan dan berperan dalam membangun Indonesia Emas 2045.<strong>(***)</strong> <strong>Penulis adalah Direktur Operasional Divisi Pengembangan Usaha, SMSI Pusat</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/eQBpzfsMuyU?si=2gdwHdmAtZWsVxyQ
Discussion about this post