Oleh: Rima Septiani, S.Pd
Drama LPG 3 Kg terjadi lagi. Sejumlah wilayah di Indonesia mulai merasakan gas elpiji 3 Kg langka di pasaran. Diketahui, per 1 Februari 2025, pengecer tidak lagi diperbolehkan menjual gas elpiji 3 Kg.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, pengecer yang ingin tetap menjual elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau subpenyalur resmi pertamina (tribunnews.com 2/2/2025).
Polemik Gas Melon
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sektor minyak dan gas bumi melimpah ruah. Bahkan tiap tahunnya menyumbang lebih dari seperempat pendapatan Indonesia.
Sesuai apa yang termaktub dalam UUD 1945, sektor migas merupakan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini masyarakat banyak mengenal dan menggunakan komoditas Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Secara umum diketahui, kebutuhan terhadap LPG ini, didominasi oleh kebutuhan bahan bakar rumah tangga seperti memasak, pemanas ruangan, pemanas air dan sebagainya. Kebutuhan inilah yang kemudian mendominasi pola konsumsi LPG di Indonesia.
Dari sini kita melihat bahwa peruntukan penggunaan LPG ini menjadi hal utama dan penting bagi kehidupan rakyat. Tapi mengapa akhir-akhir ini terjadi polemik terkait sistem distribusi LPG 3 kg. Tepatnya masih ada kendala terkait pendistribusian LPG ini baik berkaitan dengan jumlah, lokasi, harga, dan waktu yang jelas memengaruhi tingkat kepuasan rakyat.
Sejak awal 2007 tepatnya konversi pengunaan minyak tanah ke kompor gas, pendistribusian sasaran LPG 3 Kg memang sudah terjadi masalah. Meskipun berbagai mekanisme penyaluran LPG 3 Kg ini mengunakan data Kartu Identitas Penduduk (KTP), namun tetap saja masyarakat kelas menengah ke atas pun masih mampu mengakses subsidi LPG 3 Kg tanpa kendala.
Hal ini disebabkan karena tabung gas LPG dijual bebas di pasar, sehingga sangat memungkinkan masyakarat terkategori mampu dapat mengakses dengan mudah. Padahal sudah sangat jelas, bahwa gas melon tersebut hanya diperuntukan bagi rakyat miskin.
Tidak berhenti sampai disitu, permainan harga LPG 3 Kg selalu dimainkan di lapangan. Banyak terjadi kenaikan harga jual jika gas melon ini sudah sampai di tangan pengecer.
Ini juga disampaikan oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung yang menjelaskan bahwa larangan penjualan di pengecer bertujuan untuk memastikan pasokan gas melon tetap ada bagi masyarakat dan agar harga jualnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hal ini merujuk pada Perpres nomor 104 tahun 2007 yang mengatur mengenai penyediaan, pendistribusian dan penetapan harga elpiji tabung 3 Kg.
Melihat fenomena kelangkaan LPG 3 Kg akhir-akhir ini, sejatinya merupakan dampak dari berlakunya sistem ekonomi kapitalisme saat ini. Perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon adalah keniscayaan dalam sistem kapitalisme.
Kebijakan ini bukan hanya terkait pergantian menteri dan pejabat, tetapi sebagai sebuah konsekuensi sistem ekonomi kapitalisme yang dipilih negeri ini sebagai landasan berekonomi. Pasalnya salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi.
Discussion about this post