Oleh: Khaziyah Naflah
Minyak goreng kembali menyita perhatian publik. Kenaikan dan kelangkaan minyak kembali terjadi di pasaran, tanpa terkecuali minyak goreng besutan pemerintah yang diluncurkan tahun lalu, MinyaKita. Dia mendadak langka di sejumlah daerah. Kalaupun ada, harga jual dari pedagang melonjak hingga Rp20.000 per liter.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 49 Tahun 2022, minyak goreng rakyat terdiri atas minyak curah dan MinyaKita yang diatur oleh pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp14.000 per liter (kompas com, 03/02/2023).
Hal ini jelas kembali menimbulkan beban bagi rakyat, apalagi minyak adalah salah satu bahan penting bagi dunia perdapuran.
Seyogianya, suatu hal yang aneh jika harga minyak mahal dan mengalami kelangkaan di negeri ini. Karena jamak diketahui Indonesia merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Hal ini didukung oleh besarnya area penanaman kelapa sawit yang selalu meluas setiap tahunnya. Bahkan, angka ekspor crude palm oil (CPO) pun mencapai angka yang tertinggi di dunia.
Beberapa Menteri dan pakar ekonomi mengklaim bahwa masalah kelangkaan minyak kita di pasaran terjadi karena beberapa hal. Menteri Zulkifli Hasan menyebut realisasi DMO sebagai salah satu penyebab hilangnya Minyakita di pasaran.
Dia mengatakan realisasi DMO mulai turun pada Desember 2022. Pada November 2022 realisasi DMO mencapai 100,94%, tapi sebulan kemudian turun menjadi 86,31%. Penurunan terus berlanjut sampai Januari 2023, menjadi 71,81%.
Adapun ahli ekonomi dari lembaga riset Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, beranggapan ketika “minat pihak swasta berkurang” untuk memproduksi Minyakita, negara harus mengambil peran lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Karena porsi BUMN dalam tata niaga minyak goreng itu kecil, ini menjadi permainan juga dari oknum swasta. Itu yang memang kesalahan dari kebijakan minyak goreng, BUMN tidak dilibatkan secara aktif,” ujar Bhima. (BBCnews.com, 02/02/2023).
Discussion about this post