Ketika menginjak bangku SD, anak pertama dari empat bersaudara ini mengikuti ayahnya yang pindah mengajar di SD Longi. Sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Bawakaraeng, yang masih termasuk wilayah Kabupaten Bulukumba di bagian barat. Di lereng gunung inilah wartawan kelahiran Bulukumba 27 Mei 1958 ini menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan bermain gasing, main kelereng, dan rajin memungut kemiri di hutan.
Di sekolah, Usdar kecil terbilang pandai melukis pemandangan alam, objek lukisan yang paling mudah bagi para murid pada zaman itu. Tapi dia payah bila disuruh menggambar orang. Sekali waktu, dia disuruh menggambar orang. Dia pun menggambar sebuah batu besar di tengah sungai. Di samping batu, terlihat tali pancing yang ujungnya turun ke air.
“Ini gambar apaan,?” Gurunya bertanya.
“Di sebelah batu itu Pak, ada orang yang sedang memancing ikan. Tapi cuma tali pancingnya yang kelihatan, orangnya terlindung di balik batu ..,.” Usdar kecil berdalih dengan penuh percaya diri.
Setelah lulus SD, Usdar melanjutkan pendidikan ke SMEP Negeri Palampang, Kecamatan Bulukumpa. Dari sekolah menengah ekonomi pertama itu, dia melanjutkan pendidikan dan tamat di SMA Negeri Bulukumba jurusan IPS pada tahun 1977. Dia lulus dan rangking I pada ujian akhir, sehingga bebas tes masuk di di Fakultas Hukum Unhas Makassar, tahun 1978.
Pada awal masa kuliah, kegemarannya ialah suka membuat ‘’Surat Pembaca’’ di Harian Pedoman Rakyat (PR), yang umumnya mengkritik berbagai persoalan di kampung halamannya. Selain itu, dia juga mulai belajar membuat majalah kampus, dan aktif di bagian siaran budaya RRI Nusantara IV Ujungpandang, membantu trio Hasyim Ado, Sudarmin Dahlan, dan Ichsan Amar.
Namun di balik itu, Usdar merasa tertantang. Dia harus bisa menulis artikel sendiri ke PR, tentang apa saja yang bisa ditulis. Sudah terlanjur namanya kok muncul di koran besar.
Sebulan berikutnya, dia membawa tiga judul artikel ke Redaksi PR di Jl.A. Mappanyukki, dengan perasaan harap-harap cemas. Apa artikelnya bisa termuat di surat kabar, atau mungkin akan menuju ke tong sampah. Biasa, begitulah kekhawatiran para penulis pemula membayangkan nasib artikel yang disetornya ke media, apalagi sekelas PR kala itu.
Dua hari kemudian, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, artikelnya yang berbicara tentang Hari Ibu, benar-benar dimuat PR. Saat itu, perasaannya benar-benar senang luar biasa. Dirinya seolah terbang ke langit. Kepalanya terasa membesar dengan rambut terasa berdiri kencang laksana duri landak.
Tahun 1980, dia berkunjung ke Redaksi Surat Kabar Mingguan “Mimbar Karya” di Jl.Achmad Yani. Di situ juga berkantor dua surat kabar lainnya, yakni Harian “Fajar” dan Harian “Tegas” yang terbit sore hari.
Usdar memperkenalkan diri ke seorang redaktur, yakni Nasir Tongkodu. Dan, tak disangka-sangka ternyata Nasir sudah mengenal nama Usdar melalui sejumlah tulisannya di PR. Hari itu juga Usdar dihadapkan ke Pimpinan Redaksi, Gani Haryanto (alm.), dan langsung diterima menjadi wartawan, tanpa tes dan tanpa surat lamaran.
Discussion about this post