Pada awal masa kuliah, kegemarannya ialah suka membuat ‘’Surat Pembaca’’ di Harian Pedoman Rakyat (PR), yang umumnya mengkritik berbagai persoalan di kampung halamannya. Selain itu, dia juga mulai belajar membuat majalah kampus, dan aktif di bagian siaran budaya RRI Nusantara IV Ujungpandang, membantu trio Hasyim Ado, Sudarmin Dahlan, dan Ichsan Amar.
Namun di balik itu, Usdar merasa tertantang. Dia harus bisa menulis artikel sendiri ke PR, tentang apa saja yang bisa ditulis. Sudah terlanjur namanya kok muncul di koran besar.
Sebulan berikutnya, dia membawa tiga judul artikel ke Redaksi PR di Jl.A. Mappanyukki, dengan perasaan harap-harap cemas. Apa artikelnya bisa termuat di surat kabar, atau mungkin akan menuju ke tong sampah. Biasa, begitulah kekhawatiran para penulis pemula membayangkan nasib artikel yang disetornya ke media, apalagi sekelas PR kala itu.
Dua hari kemudian, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, artikelnya yang berbicara tentang Hari Ibu, benar-benar dimuat PR. Saat itu, perasaannya benar-benar senang luar biasa. Dirinya seolah terbang ke langit. Kepalanya terasa membesar dengan rambut terasa berdiri kencang laksana duri landak.
Tahun 1980, dia berkunjung ke Redaksi Surat Kabar Mingguan “Mimbar Karya” di Jl.Achmad Yani. Di situ juga berkantor dua surat kabar lainnya, yakni Harian “Fajar” dan Harian “Tegas” yang terbit sore hari.
Usdar memperkenalkan diri ke seorang redaktur, yakni Nasir Tongkodu. Dan, tak disangka-sangka ternyata Nasir sudah mengenal nama Usdar melalui sejumlah tulisannya di PR. Hari itu juga Usdar dihadapkan ke Pimpinan Redaksi, Gani Haryanto (alm.), dan langsung diterima menjadi wartawan, tanpa tes dan tanpa surat lamaran.
“Kamu sejak hari ini diterima jadi wartawan ‘Mimbar Karya;, dan ditugaskan sebagai Wartawan Ekonomi dan Pertanian” kata Gani Haryanto almarhum.
Tugas pertamanya, meliput sukses KUD Mattirobulu di Bulukumba, yang berhasil menjadi KUD terbaik di Indonesia pada saat itu. Karena memang kampungnya sendiri, maka tak begitu sulit bagi Usdar menjangkau KUD Mattirobulu yang terletak di Gangking (Gantarang Kindang).
Berbekal kamera otomatis pinjaman dari tetangga, Usdar pun meluncur ke KUD Mattirobulu dengan menumpang bus. Dia menempuh jarak 150 km ke arah selatan. Inilah pengalaman pertamanya melakukan perjalanan jurnalistik.
Sekembali ke Makassar, kamera yang berisi rol film 36 kutip itu, langsung dibawa ke tukang cuci foto Beng Seng di Jl.Sulawesi. Toko ini, milik warga keturunan, yang sejak dulu sudah dikenal keterampilan mencuci-cetak foto hitam putih. Banyak wartawan senang mencetak foto mereka di sini, karena hasilnya bagus. Kualitas kertasnya mengkilap dan itu sangat disukai teman-teman wartawan.
‘’Rol filmnya tak bisa dicuci karena dalam keadaan kosong. Tak ada gambar,’’ kata pemilik cuci foto Beng Seng yang membuat Usdar nyaris ‘pingsan’.
Apa yang terjadi? Ternyata, ketika Usdar memasang rol film ke dalam kamera, tidak rapat ke cantolannya sehingga bila pemutar rol otomatis diaktifkan, rol film tidak ikut terputar. Masya Allah. Namanya juga baru pegang kamera. Tustel tetangga pula.
“Subhanallah ..”. Usdar baru menyadari bahwa ketika dia super sibuk memotret, ternyata ‘pale’ (lah) rolnya tidak ikut terputar. Mana mungkin fotonya bisa jadi kalau rol film tak berputar.
Usdar Nawawi telah tiada. Tetapi dia tetap hidup di mata para sahabatnya. “Ngopi Rong”, kumpulan 100 esai karyanya menjadi nisan kedua – selain di makamnya – bagi para sahabat yang dia tinggalkan. Selamat jalan sahabat.(***)
Penulis: Tokoh Pers versi Dewan Pers
Discussion about this post