Misalnya saja, di Piala Eropa 2024 yang sedang digelar saat ini, hasil pertandingan Italia-Albania berkesudahan 2-1 disebut dengan “menang tipis”. Sementara hasil pertandingan Jerman-Skotlandia dengan skor 5-1, menggunakan kalimat seperti “Jerman Melibas Skotlandia” atau “Jerman Membungkam Skotlandia.”
Saya tidak tahu apakah Kedutaan Besar Skotlandia di Jakarta melayangkan surat pembaca ke redaksi media membuat berita itu. Perdefinisi kata-kata yang digunakan sudah bisa dikatakan kasar, menghina. Tetapi karena konteksnya adalah olahraga, pertandingan sepakbola, mungkin mereka anggap biasa saja, tidak ada nuansa penghinaan.
Untuk berita lain, masuknya opini ke dalam berita ini agar selalu dicermati wartawan. Hindari keinginan untuk berpendapat. Lalu jangan lupa untuk melakukan cek dan ricek. Artinya bisa saja dalam pengecekan pertama atau informasi awal yang diterima data atau faktanya masih kabur, atau belum lengkap, maka diperlukan cek kedua. Recheck atau ricek.
Saat di Dewan Pers, saya pernah menerima komplain seorang yang merasa dirugikan berita sebab dia baru dilaporkan ke kantor polisi, tetapi ditulis telah membawa kabur uang dan menelantarkan sejumlah calon pilot.
“Ini proses, perlu waktu dalam penyalurannya, dan masih dalam tenggang waktu, sudah dituduh membawa lari uang dan menelantarkan. Saya minta hak jawab dan media tersebut minta maaf karena sudah merugikan nama baik saya,” katanya.
Opini yang dibuat media bahwa orang tersebut membawa lari uang, tidak berimbang karena media tidak melakukan konfirmasi, dan juga tidak akurat karena meskipun orang itu menghimpun uang pihak lain, belum ada bukti dia menyalahgunakannya.
Media membuat kesimpulan hanya karena adanya laporan polisi, padahal sebenarnya dia harus mencari informasi tambahan baik dari yang diadukan ke polisi, maupun dari para korban, agar akurat, jelas duduk persoalan, apa yang sebenarnya terjadi.
Opini menghakimi lainnya, menelantarkan calon pilot, juga harus dikonfirmasi dulu untuk mencari tahu fakta yang sebenarnya. Misalnya soal batas waktu rekrutmen, apa saja yang sudah dilakukan dalam proses penyaluran, dan perkembangan terakhir saat berita diluncurkan karena bisa jadi ada perkembangan setelah adanya laporan polisi.
Kalau semua sesuai dengan bukti-bukti yang ada, tentu tidak ada penelantaran. Bisa jadi prosesnya lamban, jadi ada yang merasa dirugikan dan mereka tidak memperoleh informasi soal itu dan mengadu ke polisi. Ini bukan kesalahan orang yang diadukan tetapi pada pihak ketiga yang di luar kuasa mereka.
Mendapatkan berita-berita “sehat”, yang menarik, tetapi juga yang sesuai kode etik jurnalistik, memenuhi standar jurnalistik, saat ini mulai agak sulit. Kita harus berlangganan pada situs media yang bermutu, yang kadang harus berbayar.
Kalau berita gratis yang disediakan banyak media online, harap sabar karena bisa jadi ada residu yang perlu dibersihkan agar informasinya tetap tersaring dan sesuai harapan.
Sering dikatakan, wartawan adalah pembelajar yang baik. Saya dapati banyak kawan yang diam-diam sudah mau sidang untuk gelar Magister, ada yang siap-siap atau malah sudah pasang target tahun 2024 ini bergelar Doktor.
Bahkan, di jajaran pengurus PWI Pusat ada banyak doktor, lulusan perguruan tinggi bonafide. Mereka bekerja sambil kuliah, offline ataupun online. Ada pula yang nyambi jadi dosen agar ilmunya terus bertambah, wawasannya terus meluas.
Maka kalau ada wartawan yang malas belajar, dan cukup puas dengan dirinya sekarang, saya kira dia termasuk orang-orang yang merugi. Wallahu a’lam bhisawab.(***)
Ciputat, 16 Juni 2024
Penulis adalah Ketua Umum PWI Pusat 2023-2028, Wakil Ketua Dewan Pers 2019-2022
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post