Agaknya dari Kampung Sialagan ini pula titik awal sejarah peradaban penegakan hukum di Samosir. Barangkali dari Samosir ini pula terinspirasi banyak orang Batak menjadi penegak hukum di Indonesia dari dulu hingga sekarang.
Alkisah, Gading Jansen Siallagan menjelaskan bahwa di kampung tersebut terdapat area yang disebut dengan “Batu Persidangan”. Disinilah sang Raja mengadili para pelanggar hukum adat. Batu persidangan ini berbentuk sebuah meja dengan kursi yang tersusun melingkar.
“Jadi kalau Raja Siallagan bersidang memberikan hukuman kepada setiap penjahat, di sanalah dia disidang,” kata Gading sambil menunjuk lokasi.
Dengan fasih Gading menjelaskan prosesi persidangan Raja-Raja dahulu yang berlangsung di Batu Persidangan itu. Tempat di sebelah kanan Raja ialah adik-adik raja, sementara di sebelah kirinya adalah para penasihat yang terdiri atas dua penasihat terdakwa, dua penasihat korban, dan satu penasihat kerajaan.
“Kenapa mereka perlu penasihat kerajaan? Apabila tidak ada komitmen (kesepakatan) antara empat penasihat, maka keputusan ada di tangan penasihat kerajaan. Kalau bahasa sekarang itulah yang disebut pengacara,” kata Gading.
“Jadi jangan heran, kalau orang Batak banyak jadi pengacara. Mereka itu lulusan Siallagan semua,” kata Gading sedikit melawak, diikuti tawa Ketum SMSI Firdaus dan rombongan lainnya.
Lebih jauh GJ Sialagan, mengatakan bahwa dalam hukum Raja Siallagan saat itu, setidaknya terdapat tiga jenis persidangan. Ketiganya ialah persidangan untuk tindak pidana ringan, tindak pidana umum, dan tindak pidana serius (berat).
“Kami sebut tindak pidana ringan, yaitu mencuri. Raja masih memaafkannya, Raja membebaskannya, asal dia bisa bayar empat kali apa yang dia curi. Kalau dia curi satu kerbau, dia harus bayar empat kerbau, maka boleh bebas,” kata Gading.
Dalam persidangan, Raja dan para penasihat akan mencari hari baik untuk mengeksekusi pelaku tindak pidana berdasarkan kalender Batak. Jika waktu eksekusi telah diputuskan, maka hukuman akan diberikan.
“Seorang dukun akan diperintahkan oleh Raja kapan orang ini akan dipancung. Orang Batak punya (semacam) feng shui. Kalau orang Jawa bilang itu primbon, orang Batak bilang maniti ari,” jelas Gading.
Hukum Pancung
Mengutip artikel yang ditulis Renti Rosmalis yang ditemukan di Google bahwa cerita itu sepertinya bukan mitos.
Konon, pada zaman Raja Siallagan masih memeluk kepercayaannya, Raja menerapkan hukuman yang sangat keji untuk mengadili penjahat atau pelanggar adat setempat, seperti pencuri, pembunuh, pemerkosa, atau lawan perang.
Untuk menentukan hukuman, Raja Siallagan beserta permaisuri dan tetua adat mengadakan rapat di tengah perkampungan. Letaknya berada di bawah pohon suci Hariara. Di situ terdapat kursi-kursi yang terbuat dari batu dan melingkari meja batu. Tempat itulah yang kini dinamai Batu Parsidangan.
Rapat tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menentukan hukuman apa yang tepat untuk terdakwa. Menggunakan kalender adat Batak, Raja Siallagan bersama tetua adat menentukan waktu rapat dan juga waktu untuk mengadili terdakwa.
Apabila terbukti melanggar dan terdakwa tersebut harus dihukum pancung, maka terdakwa dibawa ke rangkaian Batu Parsidangan kedua.
Discussion about this post