PENASULTRAID, JAKARTA – Sesi edukasi bertajuk “Kanker Ovarium: Bahaya Tersembunyi yang Harus Diwaspadai” diadakan untuk meningkatkan kesadaran terhadap bahaya kanker ovarium, sekaligus menekankan pentingnya pemeriksaan dan penanganan yang tepat sebagai upaya mendukung kualitas hidup yang lebih baik bagi perempuan dan pasien kanker ovarium di Indonesia.
Kesadaran ini penting mengingat Data Global Cancer Observatory (Globocan) 2022 menunjukkan bahwa kanker ovarium menempati peringkat ketiga sebagai kanker terbanyak pada perempuan di Indonesia. Kanker ovarium epitelial menjadi jenis kanker ovarium paling umum terjadi yang berkembang pada jaringan epitel, yaitu lapisan tipis yang menutupi bagian luar ovarium.
Muhammad Yusuf, Sp.OG (K) Onk, Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi, Konsultan Onkologi mengatakan, Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan jumlah kasus kanker ovarium tertinggi di dunia, dengan 15.130 kasus baru setiap tahunnya.
Angka ini, kata Yusuf, mencerminkan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai kanker ovarium, serta terbatasnya edukasi seputar faktor risikonya.
Melihat kondisi tersebut, sangat penting bagi semua untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran akan kanker ovarium, termasuk pemahaman terhadap ancamannya dan edukasi kepada masyarakat, terutama perempuan, mengenai pentingnya deteksi dini kesehatan reproduksi.
“Edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat, khususnya perempuan, sangat penting guna menekan laju pertumbuhan kasus dan meningkatkan kualitas penanganan secara menyeluruh,” kata Yusuf sebagaimana rilis resmi yang redaksi terima, Kamis 24 Juli 2015.
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan seorang perempuan terkena kanker ovarium adalah riwayat keluarga, khususnya jika ada kerabat tingkat pertama (seperti ibu atau saudara kandung) yang pernah menderita kanker ovarium.
Kemudian, riwayat reproduksi seperti menstruasi yang dimulai terlalu dini, tidak pernah hamil, atau menopause yang terjadi pada usia lebih tua dari rata-rata; faktor genetik termasuk mutasi pada gen BRCA1/BRCA2 (Breast Cancer Gene), serta kelainan pada mekanisme perbaikan DNA seperti Homologous Recombination Deficiency (HRD); obesitas serta risiko yang meningkat seiring bertambahnya usia.
Menjalani gaya hidup sehat memiliki peran penting dalam menurunkan risiko kanker ovarium.
Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan antara lain, menjaga berat badan ideal, menjalankan pola makan yang seimbang dan sehat, memilih kontrasepsi oral atau pil KB, berhenti merokok, hingga menghindari terapi hormon. Kebiasaan ini bisa mendukung kesehatan reproduksi perempuan secara menyeluruh.
Berbeda dengan jenis kanker lainnya, hingga saat ini belum tersedia metode skrining yang benar-benar akurat dan dapat diandalkan untuk mendeteksi kanker ovarium sejak dini.
Meski begitu, pemeriksaan seperti transvaginal ultrasound dan tes darah CA-125 dapat menjadi opsi pendukung dalam upaya deteksi dini.
Data dari American Cancer Society dan National Cancer Institute menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kanker ovarium baru terdeteksi ketika sudah memasuki stadium lanjut. Hal ini disebabkan karena gejala awal yang cenderung ringan, tidak spesifik, dan sering diabaikan, seperti perut kembung, nyeri panggul, serta gangguan pencernaan.
“Kanker ovarium merupakan penyebab kematian tertinggi dari seluruh kanker ginekologi dengan mayoritas pasien kanker ovarium baru terdiagnosis pada stadium 3 atau 4 akibat gejala awal yang tidak spesifik, sehingga penanganan medis umumnya sudah memerlukan tindakan operasi atau kemoterapi. Terlebih, risiko kekambuhan setelah kemoterapi awal pun sangat tinggi, yaitu mencapai 70% dalam tiga tahun pertama,” terang dr. Yusuf.
Discussion about this post