PENASULTRA.ID, JAKARTA – Pakar Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik Wina Armada Sukardi mengisahkan, 200 tahun di Amerika ada Sedittion Act atau UU tentang Penghasutan. UU ini membawa korban dua wartawan Amerika yang ditangkap dan dihukum berdasarkan undang-undang itu.
Dalam perkembangannya kemudian, UU ini tidak dipakai lagi karena dianggap Supreme Court atau Mahkamah Agung Amerika bertentangan dengan konstitusi Amerika dan kemerdekaan berekspresi, termasuk kemerdekaan pers.
Menurut Wina Armada, isi UU Penghasutan yang berlaku 200 silam di Amerika itulah yang kini diberlakukan dalam KUHP yang baru disahkan.
“Dengan demikian dapat disimpulkan, isi KUHP baru kita, sebenarnya, sudah tertinggal sekitar 200 tahun atau dua abad dibanding perundangan modern lainnya,“ ujar Wina dalam Diskusi Publik di Sekretariat PWI Pusat, Jakarta, Kamis 22 Desember 2022.
Atas dasar itu Wina berpendapat, KUHP baru cuma mengganti baju dari KUHP produk penjajah, namun substansi terkait pasal-pasal demokrasi, lebih buruk dari produk kolonial.
Wina mempertegas pendapat dari Bagir Manan, lantaran UU Pers No 4O Tahun 1999 bersifat primaat atau priviil alias undang-undang yang diutamakan dan dikedepankan, khusus untuk pers tetap berlaku UU Pers.
“Dan bukan KUHP,” tegasnya.
Pada diskusi publik yang diikuti pengurus PWI di seluruh Indonesia melalui online, selain Wina Armada Sukardi tampil juga sebagai pembicara, mantan Ketua Mahkamah Agung (MA), Prof. Bagir Manan dan dosen Universitas Brawijaya dan aktivis HAM Al Araf. Adapun yang bertindak sebagai moderator adalah Agus Sudibyo.
Kendati Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan meninggalkan banyak problem di bidang demokrasi dan hak asasi manusia, namun masyarakat pers teguh berkeyakinan bagi pers yang berlaku tetap UU Pers.
Discussion about this post