Faktor tantangan, kebijakan lelang kuota tangkap gagal adalah: pertama, jumlah sumberdaya ikan Indonesia sangat sedikit, sesuai rekomendasi Komnas Kajiskan berdasarkan hasil kajian riset sejumlah 12,97 juta ton. Sementara yang sumberdaya ikan yang terserap setiap tahun sebelum kebijakan lelang kuota tangkap sejumlah 6,10 juta ton atau terserap 50%. Berarti tersisa sekitar 6,87 juta ton.
Sekarang, Menteri KKP harus berhitung secara baik dan benar. Karena sisa 6,87 juta ton itu, bukan semua sumberdaya yang harus (wajib) ditangkap. Karena penghitungan sumberdaya ikan terdiri dari dua hal yakni kategori bycath (belum boleh ditangkap) dan kategori boleh ditangkap.
Kalau tim beauty contest yang dibentuk KKP Pokja dari kebijakan Lelang Kuota Tangkap sepakati sejumlah ratusan perusahaan perikanan berskala besar dengan modal Rp200-500 miliar dan mereka memiliki armada kapal tangkap berukuran 1000-5000 gross ton dengan kalkulasi 4000 ton sekali tangkap dalam sehari.
Ya tinggal dihitung saja. Contoh sederhana 100 kapal, berarti dalam dua hari saja tangkap ikan 6,87 sisa 50% itu ditangkap. Selanjutnya apalagi yang mau dikeruk. Habislah sumberdaya perikanan Indonesia. Itulah akibat liberalisasi laut, jadikan sirkuit internasional lomba tangkap ikan.
Kedua; produksi ikan Indonesia mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, sekarang produksinya meningkat sehingga industri perikanan menyumbang 3 persen terhadap PDB nasional. Itu terhitung hanya 0,3 % dari seluruh rencana belanja negara dalam APBN.
Beberapa negara yang tinggi produksi ikan nasionalnya seperti Amerika Serikat (5,36 juta ton) yang mempunyai zona akuatik terbesar di dunia hingga 11,4 juta meter persegi. Belum termasuk garis pantai sisi timur dan barat capai 200 mil.
Kemudian, Peru (5,85 juta ton) yang menempati posisi teratas disektor perikanan dunia sejak 1960. Namun, level produksi ikan mulai turun karena overfishing sehingga spesies ikan punah. Peru miliki sumber daya ikan yang banyak karena garis pantai 3.000 kilometer disamping 12 ribu danau dan laguna lebih dari 50 spesies.
Lalu, Indonesia hanya 6,10 juta ton atau terserap 50% dari 12,97 juta ton. Sementara Indonesia dikenal dunia memiliki Segitiga Terumbu Karang atau Coral Triangle sehingga sekitar 1.650 spesias hewan akuatik. Terakhir, India 9,46 juta ton yang produksi 6 persen dari total ikan secara global.
Ketiga, tingkat konsumsi ikan di Indonesia paling rendah. Data Statistik Kurva Fishing (2021); volume produksi ikan global meningkat pesat dalam sembilan tahun terakhir. Pada tahun 2018, volume produksi ikan mencapai 178,8 juta ton, naik 21 persen dibandingkan tahun 2010 yang sebesar 148,1 juta ton.
Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap ikan masih rendah. Rata-rata capai 41 kilogram (kg) per kapita per tahun. Naik dibanding tahun sebelumnya di 37-38 kg per kapita per tahun, tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih kalah jauh dengan Malaysia (70 kg per kapita per tahun) dan Singapura (80 kg per kapita per tahun), bahkan kalah telak dengan Jepang (mendekati 86 kg per kapita per tahun).
Lalu, Menteri KKP berlakukan kebijakan lelang kuota tangkap, mestinya untuk apa? apakah untuk peningkatan rasa puas konsumsi ikan masyarakat Indonesia?. Apakah untuk bahan baku industri-industri perikanan asing?. Apakah untuk peningkatan PNBP lalu pakai bayar hutang?. Jadi kebijakan tersebut tak jelas orientasinya. Indonesia hancur, oligarki laut sedang berkomplotan dengan negara lakukan penetrasi investasi kolonialisme.
Keempat; infrastruktur perikanan sesuai regulasi Kepmen 98 tahun 2021 sulit dibenahi dan sangat berat dilengkapi. Apalagi putaran waktu, mengharap efek ganda dari kebijakan lelang kuota tangkap ikan tidak akan mendorong peluang investasi pada aktivitas primer dan sekunder dari penangkapan ikan, pengelolaan pelabuhan dan industri perikanan. Karena infrastruktur diberbagai pelabuhan tidak lengkap dan sistem pendaratan yang belum layak.
Kelima; suplai ikan ke pasar domestik maupun ekspor tidak akan maksimal. Karena tidak semua perusahaan perikanan memiliki kapal coldstorage, pelabuhan pendaratan ikan masih dangkal, jadi kapal ukuran besar tak mungkin bisa pendaratan ikan.
Keenam; kebijakan penangkapan ikan terukur akan banyak menemui tantangan dan sulit direalisasikan karena belum ada mekanisme pengawasan dan pengendalian yang dilakukan. Sehingga terapan teknis sistem kuota pada setiap pelaku usaha membuat mereka berat untuk investasi.
Indonesia mestinya jangan meniru negara maju dalam menerapkan metode penangkapan ikan, seperti Uni Eropa, Islandia, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Karena mereka memiliki armada kapal nelayan negaranya sudah modernisasi. Pemerintah Indonesia saja, pembuatan kapal dan modernisasi alat tangkap untuk kapal kecil dan ukuran besar saja harus izin KKP dan dilarang karena alasan lingkungan rusak.
Bukankah sistem lelang kuota tangkap ikan merupakan mainan oligarki yang sesungguhnya ingin hancurkan kedaulatan Indonesia?. Karena hanya oligarki laut yang memiliki modal Rp200-500 miliar. Nelayan lokal dan perusahaan lokal tak mungkin. Pasar bebas, laut jadi sirkuit lomba tangkap ikan. Model investasi yang menghancurkan.(***)
Penulis: Ketua Front Nelayan Indonesia (FNI)
Jangan lewatkan video populer:
https://youtu.be/oA-ImlcJNQY
Discussion about this post